Monday, December 19, 2011

Renungan: Minggu Adven IV 2011

(2Sam. 7:1-5,8b-12,14a,16; Mzm. 89:2-3,4-5,27,29: Rm. 16:25-27: Luk. 1:26-)

Minggu ini kita memasuki Minggu Adven ke-empat, tiba saatnya menyalakan lilin ke-empat pada krans Natal, artinya satu minggu lagi untuk menyiapkan kedatangan Sang Juru Selamat, memasang dekorasi Natal, mengirim kartu Natal, dan yang terutama membersihkan diri dari noda dosa sehingga dapat menerima Kristus dengan sukacita pada hari Natal. Di beberapa tempat mungkin sudah merayakan Natal pada masa Adven (ada tulisan yang bagus tentang merayakan Natal sebelum 25 Desember oleh Pdt. Daniel T.A. Harahap http://rumametmet.com/2008/11/27/tentang-perayaan-natal-surat-terbuka/ dan oleh Pdt. Joas Adiprasetya: http://rumametmet.com/2010/11/28/merayakan-natal-sebelum-25-desember-jangan-dong/. Pdt. Joas mengatakan: “…Nah, kini bayangkan kekacauan yang bakal muncul jika Natal dirayakan sebelum tanggal 25 Desember—katakanlah tanggal 16 Desember—yaitu ketika kita masuk pada masa adventus, yang pada intinya mempersiapkan diri kita untuk menyambut Natal dengan baik. Lalu setelah itu (17 Desember) kita kembali memasuki masa persiapan Natal (masa Adventus) menurut kalendar gerejawi. Apa bukan sebuah kekacauan? Jika ini dilangsungkan, maka kacaulah seluruh struktur kalendar gerejawi dan penghayatan kita terhadap makna Adventus dan Natal menjadi kabur dan tak lagi bermakna.”)

Lewat masa Adven, Gereja mengajak kita untuk belajar menunggu, sesuatu yang seringkali membosankan dan mungkin sudah bukan menjadi budaya masyarakat dewasa ini. Kita sudah terbiasa dengan makanan cepat saji, siapa yang cepat dia yang dapat, termasuk ketika mengantri MTR atau bus di Guangzhou ini. Sesudah doa Bapa Kami, imam akan mengatakan “…sehingga kami dapat hidup dengan tenteram sambil mengharapkan kedatangan Penyelamat kami.” Apakah kita menunggu kedatangan Sang Juru Selamat dengan tenteram, dengan kebosanan atau dengan tidak sabar
?

Dalam bacaan pertama Minggu Adven ke-empat ini, kita mendengar bagaimana Tuhan tidak mau Daud mendirikan rumah bagiNya karena keturunannyalah yang akan mendirikan rumah bagi Tuhan. Karenanya, Tuhan berjanji bahwa keluarga dan kerajaannya akan kokoh selama-lamanya. Janji Tuhan ini diulangi oleh malaikat Gabriel ketika memberitahukan tentang kelahiran Yesus kepada Maria, seorang perawan yang sudah bertunangan dengan Yusuf. Dalam silsilah Yesus yang terdapat dalam Injil Mateus, kita tahu bahwa ada empat belas keturunan Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel dan empat belas keturunan dari pembuangan Babel sampai Kristus (Mat 1: 17). Janji Tuhan itu masih digenapi sampai sekarang lewat GerejaNya, yang didirikan oleh Yesus sendiri, meskipun kini ada begitu banyak denominasi dan bahkan ritus dalam Gereja Katolik Roma.

Lewat bacaan Injil, kita mendengar pemberitahuan tentang kelahiran Yesus oleh malaikat Gabriel kepada Bunda Maria, seorang perawan, yang dikandung tanpa noda asal sebagaimana dogma Gereja Katolik sejak 1854, yang diperkuat dengan pesan yang disampaikan oleh Bunda Maria dalam penampakan kepada Bernadette Soubirous di Lourdes. Hal ini sudah dinubuatkan dalam Yesaya 7: 14 bahwa “…seorang perempuan muda (dalam Christian Community Bible dikatakan “The Virgin”) mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Immanuel.” Pemberitahuan ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan bagaimana hal itu mungkin terjadi karena Bunda Maria belum bersuami tetapi juga konsekuensi yang berat. Kita tentu masih ingat tentang wanita yang tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah dan menurut hukum Taurat harus dilempari batu. Di sini kita mendengar pesan bahwa bagi Allah tidak ada yang mustahil. Bagaimana Allah menyiapkan segalanya bagi kelahiran Juru Selamat. Kalau Allah melakukan hal yang mustahil di zaman itu, maka kita juga percaya bahwa Allah juga tetap akan melakukan hal yang mustahil di zaman sekarang. Seringkali, kita juga dipanggil untuk berperanserta dalam mewujudkan hal yang mustahil, lewat bantuan materi, tenaga, waktu dan terutama lewat doa. Mungkin ada yang pernah membaca kisah hidup Hee Ah Lee, seorang pianis kondang dari Korea yang dikaruniai empat jari, prestasinya ini tentu tidak lepas dari bantuan orang tua, para guru dan orang-orang di sekitarnya. Ada banyak cara untuk menjadi saluran berkat bagi orang lain agar mereka juga turut merasakan bahwa Tuhan beserta mereka, Immanuel. Ada pepatah China yang mengatakan “Tian bu shui jiao (=Tuhan tidak tidur).

Bunda Maria mendengar dan berkata “ya.” Inilah ketaatan. Rasul Paulus mengatakan dalam bacaan kedua bahwa dia mewartakan Yesus Kristus kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman. Artinya tidak hanya mendengar Kabar Gembira, tetapi mengatakan “ya” pada Kabar Gembira dengan menjadikannya sebagai bagian dari hidup sehari-hari.

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia dan Konferensi Wali Gereja Indonesia setiap tahun mengeluarkan Pesan Natal bersama. “Dalam pesan Natal bersama kami tahun ini, kami hendak menggarisbawahi semangat Kedatangan Kristus tersebut dengan bersaksi dan beraksi, bukan hanya untuk perayaan Natal itu saja, tetapi hendaknya juga menjadi semangat hidup kita semua:



  1. Sederhana dan bersahaja: Yesus telah lahir di kandang hewan, bukan hanya karena “tidak ada tempat bagi mereka di rumah pengiapan” (Luk. 2:7), tetapi justru karena Dia yang “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:5-7).


  2. Rajin dan giat: seperti para gembala yang “cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria, Yusuf dan bayi itu” (Luk. 2:16).


  3. Tanpa membeda-bedakan secara eksklusif: sebagaimana kanak-kanak Yesus juga menerima para Majus dari Timur seperti adanya, apapun warna kulit mereka dan apapun yang menjadi persembahan mereka masing-masing (lih. Mat. 2:11).


  4. Tidak juga bersifat dan bersikap separatis, karena Yesus sendiri mengajarkan bahwa “barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu" (Luk. 9:50).

Saya akan menutup renungan ini dengan kutipan dari “Until He Comes” oleh Charles E. Miller, CM dan John A. Grindel, CM: “Kalau kita ingin agar Natal punya arti khusus bagi kita tahun ini, kita harus mencoba melalui perayaan Natal untuk menjadi semakin serupa Yesus. Adalah benar bahwa kita membutuhkan teman-teman yang sependapat dengan kita dan sangat penolong bagi kita; bahkan Yesus juga mempunyai teman-teman special. Dan perasaan kasih ini berawal di rumah, tetapi hanya berawal di sana. Kasih dan perhatian kita harus menyebar melampaui lingkaran kecil kebersamaan. Kita tidak bisa memperlakukan setiap orang dengan cara yang sama, tetapi kita tidak seharusnya dengan sengaja tidak memberikan kasih dan hormat kepada orang tertentu, apakah itu karena (warna kulitnya, agama dan kewarganegaraannya), atau hanya karena roh jahat. Dalam kenyataannya, jika kita ingin lebih serupa Kristus, “yang tidak diinginkan” dari dunia ini mendapat klaim khusus dalam diri kita.”



Guangzhou, 14 Desember 2011


Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.

Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible


P.S. Materi renungan ini untuk Komsel St. Theresia pada 14 Desember 2011

Sunday, December 4, 2011

Renungan: Minggu Adven II 2011

Yes 40: 1-5, 9-11, Mzm 85: 9ab, 10-14, 2 Ptr 3:8-14, Mrk 1:1-8

Hello PWKI-ers, jumpa lagi!
Minggu ini kita mendengar (kembali) bahwa Nabi Yesaya telah menubuatkan kedatangan Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis tampil di padang gurun untuk mengajak orang bertobat sehingga meluruskan jalan bagi Tuhan. Banyak orang yang mengaku dosa dan meminta dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Ajakan pertobatan ini juga disampaikan oleh Petrus, dalam bacaan ke dua, ketika menyatakan bahwa kita harus berusaha agar pada hari penghakiman terakhir kita tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya dan dalam perdamaian dengan Dia. Di masa kini, ajakan pertobatan ini ditunjukkan juga oleh warna yang mendominasi perayaan liturgi, mulai dari pakaian imam sampai lilin adven, yang berwarna ungu kecuali pada Minggu Adven ketiga, yang berwarna merah muda. Ajakan pertobatan ini meliputi pertobatan terhadap dosa pribadi dan dosa sosial. Di sisi lain, kita juga juga diajak untuk melihat (kembali) pengakuan dosa sebagai suatu kesempatan untuk hidup lebih berkenan kepada Allah, dan tidak melihatnya sebagai suatu beban. Sesungguhnya dengan berlama-lama memikul beban dosa, membuat kita hidup semakin berat, meskipun mungkin tidak disadari. Ada sebuah cerita tentang ikan sapu-sapu. Ada orang yang mempunyai aquarium berisi ikan-ikan koki. Lumut mulai tumbuh dengan sehat di aquariumnya karena dia tidak sempat membersihkannya sehingga aca aquariumnya mulai buram dan ikan-ikan kokinya berkurang keindahannya. Jadi, dia menyempatkan untuk membeli ikan sapu-sapu. Tanpa membersihkan airnya, ikan sapu-sapu ini langsung dimasukkan ke dalam aquarium. Keesokan harinya, ikan-ikan kokinya tampak begitu indah .... Tetapi bukankah memang ikan-ikan koki itu warnanya indah. Ehhh .... tapi kok lain ya? Warnanya bukan saja indah, tapi begitu bersinar. Lalu diamatinya ikan-ikan koki itu dengan sirip mereka yang panjang bagaikan kain sutera yang berkibar-kibar seolah ditiup angin. Di pojok akuarium, ada seekor ikan hitam yang tidak bersinar sama sekali, seolah sedang menepi dalam dunianya sendiri dan takut untuk bergabung dengan koki-koki indah itu. Lalu disadarinya bahwa ikan-ikan kokinya terlihat begitu indah dan bersinar bukan karena ikan-ikan itu yang berubah, tetapi keadaan di sekitar merekalah yang berubah. Lumut-lumut yang membuat kaca akuarium buram sudah lenyap! Ya, lenyap! Kaca akuariumnya kembali bening sehingga ikan-ikan indahnya terlihat semakin indah. Ikan yang tidak menarik yang dibelinya dengan harga murah itu telah melahap habis lumur-lumut itu. Memang untuk itulah ikan itu dibeli, tetapi dia menyangka akan mendapat ketakjuban yang luar biasa seperti ini. Pertobatan adalah seperti ikan sapu-sapu yang memakan lumut-lumut dosa, sehingga aquarium hati kita menjadi bersih. Dengan demikian diri kita yang indah, sejak awal kita dijadikan oleh Allah, tidak buram tertutup lumut-lumut dosa melainkan kembali indah dan bersinar.
Adven juga menjadi masa untuk merenungkan (kembali) panggilan untuk menjadi profetik dan mistik, sebagaimana dilakukan Yohanes Pembaptis.
Menjadi Yohanes Pembaptis masa kini ini dapat diwujudkan lewat kesaksian hidup akan pertobatan pribadi. Adalah tidak mudah untuk bersikap menghadapi perubahan cuaca global, menghadapi arus konsumerisme, menghadapi perbedaan pendapat dengan orang lain, dan lain-lain. Tetapi, lewat masalah-masalah sehari-hari, besar dan kecil, terbuka peluang bagi pertobatan pribadi, lewat pilihan-pilihan hidup yang kita ambil, misalnya dengan berpikir dan bertindak “hijau”, bergaya hidup sederhana, atau bersedia bertumbuh lewat perbedaan pendapat.
Masa Adven memanggil kita pada pertobatan sehingga kita dapat semakin bersatu dengan Allah. Inilah masa yang disediakan oleh Gereja untuk hidup dalam keheningan, pengorbanan dan pengudusan.
Bagi sebagian orang, mungkin tidak mudah untuk menjadi hening mengingat begitu banyaknya kesibukan, termasuk kesibukan menyiapkan pesta Natal (atau pesta Adven?). Keheningan bisa dimulai dengan menyediakan waktu di pagi hari sebelum memulai kegiatan atau malam hari sebelum tidur (mulai dengan 10 menit doa Yesus misalnya) atau bahkan di sela-sela kegiatan sehari-hari.
Pengorbanan bisa dilakukan mulai dari hal kecil dengan memberikan sedekah kepada pengemis di pinggir jalan sampai menjadi donatur kegiatan sosial sebagaimana yang dilakukan PWKI, memberikan pakaian/sepatu/jaket layak pakai kepada mereka yang membutuhkan, menjadi tenaga sukarela di berbagai organisasi seperti Midwest Workers Association, Faith and Fellowship. Pengorbanan juga termasuk memberi lebih banyak waktu untuk berdoa.
Hanya Allah-lah yang Kudus sehingga pengudusan hanya ditemukan dalam Allah. Pengudusan kita adalah dengan memiliki hubungan pribadi dengan Allah, masuk dalam hidup Allah lewat Kristus, yang adalah jalan, kebenaran dan hidup. Kita dipanggil untuk semakin serupa dengan Kristus dengan menyadari bahwa hal ini tidak bisa kita lakukan sendiri tetapi “semuanya adalah rahmat” sebagaimana yang dikatakan oleh Santa Theresia Kanak-kanak Yesus.
Inilah saatnya untuk melakukan semua hal yang bisa kita lakukan untuk menyediakan penginapan bagi Yesus di hati kita sehingga menjadi semakin serupa Kristus ketika Adven berakhir, karena kita tidak hanya dipanggil untuk menjadi orang baik tetapi dipanggil untuk menjadi kudus. Saya akan mengakhiri renungan ini dengan kutipan dari buku “Surprised by Canon Law II” karangan Pete Vere dan Michael Trueman: “Jawaban pendek atas pertanyaan siapa yang bisa menjadi Santo/Santa adalah bahwa Anda mungkin menjadi Santa/Santo. Allah memanggil kita semua untuk menjadi Santo/Santa, dalam pengertian bahwa Ia menginginkan kita semua untuk menjadi kudus dan hidup bersamaNya selamanya di Surga. Tetapi mungkin hanya sedikit dari kita yang akan dikanonisasi menjadi Santo/Santa….”

Guangzhou, 27 November 2011


Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible




P.S. Renungan ini ditulis untuk milis Paguyuban Warga Katolik Indonesia Chicago

Saturday, December 3, 2011

Article: Cybermission: New Ways to Pray, Connect, Minister, and Cross Border




In order to further efforts in mission education, the Maryknoll movement has long engaged all the available communications media. Throughout the 1990s, interest in the world wide web as a means of mission education grew. Individuals and organizational offices learned to use email, blogs, and emerging social media as a way to spread the word about mission. More than simply a means of communication, this was also a new culture in which to discover a means of approach.
Although the Sisters’ website, www.maryknollsisters.org, had long hosted a “post-a-prayer” section, inviting visitors to indicate their prayer intentions, the web as ministry media grew. In Hong Kong, Anastasia Lindawati complemented her ministry with a project to create a twenty-four-hour prayer presence. Her goal is to organize a presence that makes prayer companioning available through a chat-room type environment. More than an on-line perpetual adoration, the idea is to pray together with another person in a moment of need. https://books.google.com.hk/books?id=lQZQX36w6OcC&pg=PA282&lpg=PA282&dq=anastasia+lindawati&source=bl&ots=mI0VrSFGAt&sig=ACfU3U27WqeU9hWauwzgT0So1igzlpbcag&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwic2-TsparoAhUNMN4KHWgDBZc4ChDoATAAegQIChAB#v=onepage&q=anastasia%20lindawati&f=false




P.S. This article was published in Lernoux, Penny. Centenary Edition: Hearts on Fire: The Story of the Maryknoll Sisters. New York: Orbis Books, 2011.

Saturday, November 26, 2011

Sharing: The First Two Months of the Third Semester










I went back to Guangzhou on Sept 4 from Macau as the registration for the new semester was begun on Sep 5.
During English Mass on Sep 11, I sat beside a Chinese student who spent her Mid Autumn Festival Vacation in Guangzhou. She is not a Catholics but spending the day to attend service at Church of Shamian and Cathedral. I invited her to attend Mid-Autumn Festival Celebration with Guangzhou Chinese students in Our Lady of Lourdes Chapel Shamian. She decided to stay with them as I should leave for a birthday dinner. The next day, she visited my dorm and we walked around the campus while sharing our life stories.
Our classes began on Sep 16. I was in intermediate class level 1 with five subjects intensive reading, extensive reading, writing, listening and speaking. I went to Hong Kong on the week end for our regional meeting.
On Sep 22, I was thinking to move to beginner class level 4 as I felt that there are so many new words in intermediate class level 1 and it’s too fast. I asked my tutor and former class teacher about it and both of them asked to try it first. I also asked my community and they supported whatever my decision as I am the one who knows my level. Starting Sep 26, I moved to beginner class level 4. I believe it's a holy coincidence that morning I heard a quotation from Mother Teresa: “If we were humble, nothing would change us-neither praise nor discouragement. If someone were to criticize us, we would not feel discourage. If someone would praise us, we also would not feel proud.” and in the evening, our prayer cell also talk about humility as we reflect on the reading of the twenty sixth Sunday. I felt I was called to be humble in acknowledge my weakness especially in memorizing. It’s much better especially after three months summer break without classes. I also have tutorial using conversation book intermediate level 1. For the optional class I am attending the tourism cities in China and HSK class (=Hanyu Shuiping Kaoshi=Chinese Proficiency Test).
I spent the Independence Day holiday in Hong Kong. As there were several Chinese sisters and a Chinese priest from mainland China visiting our community so I had a chance to practice my Mandarin. It’s also time to reconnect with Sr. Alice Wengrzynek, MM and Sr. Cathy Rowe, MM. I attended the Indonesian Catholic Community barbeque at Chung Hom Kok Beach and then met Fr. Brian, Br. Edward, Fr. Bob and Br. Sebastian at Marykoll Stanley House.
Attending the baptism of Celine was my next agenda upon back to Guangzhou. Her father asked me to become her Godmother but it’s not a common practice here for a priest or a sister to become a Godmother and I think it’s a better idea.
Our school arranged a trip to China Cultural Folk Village in Shenzhen http://en.wikipedia.org/wiki/China_Folk_Culture_Village on Oct 8. There were around 200 foreign students in 5 buses. It’s my first time to see the cultures of the minorities in China.
Several sisters and I attended the golden jubilee celebration of Our Lady of Maryknoll Hospital which was founded by the Maryknoll Sisters in 1961 http://en.wikipedia.org/wiki/Our_Lady_of_Maryknoll_Hospital. I was moved when listening to the last part of Sr. Janice McLaughlin, MM speech over the projector. It’s also a time to reconnect with Sr. MaryLou Radjl, MM, Sr. Gloria Ruiz, MM and Sr. Bernie Higa, MM.
I am still attending the Indonesian prayer group in Consulate General and St. Therese’s prayer cell twice a month each including meeting Team Thomas (Richard Widjaja, Fr. Soebroto Widjojo, SJ, etc) who came to gave reflection and Gratia Community (Joppy Taroreh, Yvonne Taroreh and Haryanto Onggodiputro) who came to lead a retreat for the Indonesian Catholics community.
Last semester, I was sat beside a Chinese woman in a canteen near our dorm so I asked several questions and she gave her business card with an invitation to visit her garment office. She sent me a text message while I was in Indonesia, unfortunately I couldn’t reply it. Upon arriving Guangzhou, we are in contact again. One evening, she said that she was around our campus so she would pick me up to go to her office. We went to one of the wholesale stores nearby to pick up her order. It’s my first time to see how crowded the area with car, motorbike and bike. She invited to eat Guangdong meal in Dongpu and decided to order quite a lot of dishes even though I told her that I couldn’t eat a lot. Later on, one of her subcontractors came. Both of them are married and younger than me but they thought I am younger than them. They spoke Mandarin slowly so I could understand. I was moved by their generosity to a foreigner. We went to her office to chat, drink tea and listen to Chinese songs.
I visited Martyr’s Park and Guangzhou Tower besides visiting Ma Han and her auntie. I also had lunch with the Chinese Sisters of the Immaculate Conception after bringing second hand clothes for people with Hansen’s disease. Several sisters and I had an intercultural lunch and I cooked “pecel” (=Indonesian salad with peanut butter). I enjoyed the visit of my uncle, Sr. Sue and Sr. Annie in three different times.
Our classmates decided to have Thai food last Nov 1 and the Indonesian food after our midterm exam. There were 18 students from Korea, Japan, Thailand, Mexico, Vietnam, Rusia and Indonesia enjoyed the Indonesian food “rendang, gado-gado, sate ayam, ikan goreng, soto ayam, tahu telur, sayur asem, tahu tempe penyet, lemper, sum-sum and es dawet.”
My first article about the retreat for the Indonesian was published in the Indonesian Catholic Weekly HIDUP. It was my first article after 17 years of absent. I met one of their journalists in Malang-Indonesia last July and he asked me to be their correspondence. It’s a holy coincidence to meet him as we never had a contact for many years. Later on, I found draft of my application to be their correspondence but I forgot whether I sent it or not. God finds the way to lead me to be a correspondence as my wish.
I decided to attend the Mandarin CCD class to help me to learn Church vocabulary. My first class was taught by the Archbishop Gan about the Characteristic of Catholic Church. He prepared a power point presentation with the picture of Pope Benedict XVI in several sheets so it helped to see the Chinese characters. Later on, I looked for Sr. Angela to introduce myself as I got the info from her sisters. She said that one night before, one of the catechumen told her that he wants to help foreigner to learn Mandarin. We called him and I had my first class on Nov 1. He usually has business trips so he will teach irregularly. Another holy coincidence.
The Indonesian Catholics Community usually visits the patients at Fuda Hospital on Fridays since last semester. I was thinking to go to another hospital to accommodate the students who have classes on Fridays. It never happened. I continue to join the group to visit patients in Fuda hospital early of this semester. I couldn’t visit the patients on Oct 29 so I decided to join an Indonesian Eucharistic Minister to go to Modern Hospital the next day. We sat down in the lobby for a while as he wanted to send text message to Fr. Peter about returning the Body of Christ and then I saw a familiar face in an open doctor room. She was the doctor I met in their representative office in Surabaya last January 2010. She knew my state of life as she asked me why I didn’t marry yet. I waited for a while as she still met a patient. She still recognized me as the elder sister of the translator in their Surabaya office. She asked me why I didn’t look for her as I said that I was in Guangzhou since last year. I told her that my friend and I just prayed with the Indonesian patients. She said that I also can pray with the Philippines patients. I said I will do it next time. Later on the evening, Koh Chai introduced me to his new friend, Allison, who works as an English translator in Modern Hospital. The next day, an Indonesians, who got my number from Yvonne Taroreh, sent me a text message that her friend will accompany her son to have cancer treatment in Guangzhou. I only could wonder how God lead me to this new place of ministry when I knew that they will stay at Modern Hospital! And a German student, who attend St. Therese’s prayer cell since this semester, is interesting to visit patients so I think that visiting the Philippines patients will be better for him. Finally after changing the time for visiting several time to accommodate his time, the time of the new patient from Indonesia and the time of the Philippines patients, finally both of us visited one Indonesian patient and prayed with one Philippines patient on Nov 6 evening. The next Sunday, Allison, who is learning Catholics’ prayers, introduced me to the Philippines patients and accompanied me to pray with them. Later on, Fr. Heribertus, SJ and I prayed together with the rest of the Philippines patients and one Indonesian patient. After visiting Allison’s apartment, Koh Cai invited me to have dinner with his family and Allison.
There were many students and teachers with Xavier School jacket attending Sunday Mass at Cathedral. I asked one of them who they are. They are coming from Philippines to learn Putonghua and other subjects for 42 days at South China Normal University. There are around 130 students and they are staying in the university's dormitory.
The classes are in the eight weeks so it’s time for the midterm exam. My reading-writing grade is 86, listening is 86, and conversation is 94. It’s the first time that my conversation grade is higher than my reading-writing and listening grades.

Guangzhou, November 24, 2011
Happy Thanksgiving Day!



Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible

Sharing: 我很喜欢中大国际汉语学院




黄莉莉(Anastasia Birgitta Lindawati) 初级3C班 印尼(Indonesia)

第一天来到中大的时候,我去国际汉语学员报名。 办公室里有很多学生, 大家排队报名。 老师给我们一些文件。告诉我们上课的地方和时间, 还都解答了几个问题。老师们都很年轻,那时候我不能说中文所以我用英文,老师们多能说英文,我很高兴。
我以前在印尼学了四个月汉语,可是后来我没有练习,所以全忘了。上课以后,我的中文比以前好多了,我觉得写汉字和口语比较难,但是听力和语法比较容易。我很喜欢写作课,因为我不太喜欢说话。还有,中大国际汉语学院也有很多选修课,比如发音,书法,唱歌和写作,所以可以学习到更多知识。有时候我参加汉沙龙,这个是汉语学原理的研究生们搞的活动,很有意思,因为能学习中国文化。
我们班有二十多个学生,有日本人,韩国人,印尼人,越南人,美国人,但桑尼亚人和法国人,十分热闹。我们班有很多活动,上个月,我们班参加拔河比赛,赢得了第五名,所以学院给我们100元,然后我们在南门附近一起吃饭。周末的时候,我会跟朋友们一起去吃饭,万和祈祷。有一次,我跟同学们去卡拉OK完。我们唱了一首”HOLY NIGHT”,有英文,越南问,印尼文和中文,不同国家的同学都唱这首歌。跟他们一起很快乐,认识他们我很高兴。
我在中大国际汉语学院时间不是很长,可是我过得很高兴,学习了很多东西。我还要继续学习,你们也一起来吧!


P.S. This is the third winner of Spring 2011 writing competition.

Friday, November 25, 2011

Liputan: Hidup Menggereja Umat Indonesia di Guangzhou










Dalam rangka menjawab kerinduan untuk mengalami penyegaran rohani dan mengundang untuk berkomunitas sehingga dapat tergerak untuk melakukan pelayanan, maka PDKK Hati Kudus Yesus Guangzhou-China mengadakan retret tahunan pada tanggal 14-16 Oktober 2011. Retret, yang bertema Hidupmu Sungguh Berharga di MataNya, ini dibuka dan ditutup dengan dengan Misa Kudus di Kapel Our Lady of Lourdes di Pulau Shamian, yang dipimpin oleh Rm. B.R. Agung Prihartana, MSF. Retret diadakan di daerah Baiyun-Guangzhou ini juga dibawakan oleh Bapak Joppy and Ibu Yvonne Taroreh serta Bapak Haryanto Onggodiputra. Ke-empat pembimbing retret dari Komunitas Gratia ini khusus datang dari Jakarta dengan biaya sendiri, untuk mendampingi 52 orang peserta retret termasuk panitia. Topik-topik yang disampaikan oleh para pembimbing adalah Aku ciptaan Tuhan yang unik, Keistimewaan umat pilihan Allah, Proses umat pilihan Allah, Lain dulu lain sekarang, Hidupku berharga, “What’s next?” Selain itu ada sesi penyembuhan luka batin, pencurahan Roh Kudus dan Sakramen Tobat.
Persiapan retret sudah mulai dilakukan sejak bulan Juli 2011 dengan pembentukan panitia, mencari pembimbing retret melalui Badan Pelayanan Nasional Pembaharuan Karismatik Katolik dan dana. Pencarian dana antara lain dilakukan dengan membuat dan menjual makanan Indonesia.
Monica L. Bunardi selaku ketua retret mengatakan merasa sangat bersyukur dan sangat senang sekali retret ini mendapat respons yang sangat baik dan sangat antusias dari seluruh peserta. Dia juga mengatakan bahwa sebagian besar anggota PDKK adalah anak muda yang jauh dari orang tua, yang tidak terlalu mengerti soal ajaran gereja Katolik dan tinggal di Negara komunis, sejujurnya sangat membutuhkan akan siraman rohani. Dia pribadi sangat berterima kasih pada Om Joppy dan Tante Yvonne Taroreh, Om Haryanto Onggodiputra dan Rm B. R. Agung Prihartana, MSF, yang sudah bersedia melayani di Guangzhou. Dia berharap retret ini bermanfaat bagi para peserta terutama dapat menyadari bahwa seburuk apa pun kita, kita sangat berharga di mata-Nya.
Bapak Joppy dan Ibu Yvonne Taroreh mengatakan sangat bersyukur mendapat kesempatan boleh melayani di Guangzhou. Ternyata kaum muda, di tengah-tengah kesibukannya, masih meluangkan waktu mencari Tuhan, walaupun untuk beribadah di Guangzhou masih dibatasi.
Romo B.R. Agung Prihartana, MSF mengatakan anak-anak di Guangzhou sangat aktif dalam membekali diri mereka dengan pengetahuan iman katolik dan penghayatannya. Kegiatan sel, yang diisi dengan sharing Firman, dan Apalogetik memperlihatkan bahwa mereka memiliki cinta pada iman katolik. Mereka mengakui sangat minim pengetahuannya, maka mereka dalam kebersamaan komunitas berusaha memenuhi kebutuhan mereka. Dalam retret, beliau melihat antusiasme mereka, tanpa istirahat siang mereka tetap bersemangat dan penuh perhatian dalam mendengarkan renungan yang dibawakan pendamping retret. Beliau merasa, semangat mereka ini perlu ditanggapi secara serius oleh Gereja. Mereka butuh pendamping rohani, terutama pelayanan sakramen-sakramen, khususnya ekaristi dan tobat. Luar biasa, di tengah hiruk pikuknya modernitas di Guangzhou, anak-anak muda ini berjuang memperkokoh iman katolik mereka.
Bapak Haryanto Onggodiputra mengatakan respons dari umat yang ikut retret bagus, dan beliau senang melihat mereka begitu haus akan lawatan Tuhan dan haus untuk bertumbuh dalam pengenalan akanTuhan. Banyak pemulihan dari luka-luka batin dengan orang tua, eks pacar, saudara dan juga lewat Sakramen Tobat.
Hendra, salah satu peserta retret yang baru dibaptis pada Paskah 2011, mengatakan dia merasa imannya bertumbuh dengan sangat pesat berkat retret, rasa rindu untuk berhimpun dengan saudara seiman selama di Guangzhou akhirnya bisa terpuaskan. Tuhan bekerja banyak pada dirinya selama retret, mengampuninya, memberikan rasa damai dan ketentraman serta merasakan berkat pencurahan Roh Kudus yang sangat berlimpah, sehingga mempunyai kerinduan untuk terus memuji dan menyembah Tuhan setiap saat. Dia bisa menyanyi dan memuji Tuhan dengan semangat yang menggebu-gebu bila sedang sendirian di kamar. Ini merupakan suatu anugerah yang sangat besar, yang belum pernah dia rasakan sebelum mengikuti retret ini.
Karina, salah seorang peserta retret yang baru datang ke Guangzhou untuk belajar Mandarin mengakui kepintaran panitia dalam mengundang pembicara-pembicara yang bermutu dan kesopanan panitia dalam mengajak orang untuk bergabung dalam acara-acara PDKK. “Pokoknya bagus banget deh” sambungnya.
Retret adalah salah satu kegiatan rohani PDKK Hati Kudus Yesus di samping Persekutuan Doa sebulan dua kali bertempat di aula Konsulat Jendral RI, pertemuan komunitas sel, yang ada di tiap Universitas, seminggu sekali dan Misa bahasa Indonesia. Misa bahasa Indonesia, biasanya diadakan dengan mendatangkan imam dari Xiamen, Beijing bahkan Indonesia. Tim Thomas Paroki Tomang Jakarta dan Heman Salvation Ministry Surabaya juga pernah datang melayani di Guangzhou dengan biaya sendiri.
PDKK Hati Kudus Yesus juga mengadakan kegiatan pelayanan orang sakit, atau yang biasa dikenal dengan POS, kepada beberapa orang Indonesia yang sedang menjalani perawatan kanker di Guangzhou termasuk bernyanyi bersama, mendoakan, membagikan Komuni Kudus dan mendampingi keluarganya bila pasien yang bersangkutan meninggal. Di samping itu juga mengadakan kunjungan ke penderita cacat mental untuk bermain dan membantu mereka bekerja serta kunjungan ke penderita kusta. Ada juga kegiatan bersama dengan kelompok mahasiswa Katolik China.
Selain kegiatan rohani dan sosial, PDKK Hati Kudus Yesus juga mengadakan acara wisata dan olah raga bersama.
PDKK Hati Kudus Yesus dibentuk dengan pemikiran bahwa dengan semakin bertambahnya jumlah umat Katolik Indonesia yang datang dan tinggal di Guangzhou, baik untuk belajar, bekerja maupun berobat, maka dibutuhkan suatu wadah bagi mereka untuk berkumpul dan bersama-sama bertumbuh dalam iman, di samping itu untuk menjembatani kendala bahasa yang dialami dalam mengikuti peribadatan, baik Misa Kudus maupun diluar Misa Kudus. PDKK ini terbentuk atas inisiatif beberapa mahasiswa Katolik Indonesia di Guangzhou, pada tanggal 25 Desember 2009. Tentunya ini tidak lepas dari bimbingan Roh Kudus dan kehendak Allah sendiri. Komunitas ini memiliki visi agar setiap anggotanya menjadi garam dan terang dunia (Mat 5:13-14), dimana setiap anggotanya dapat bertumbuh dalam iman dan cinta akan Kristus dan gereja-Nya dan mencerminkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi saksi nyata bagi dunia.
Tulus Budi Lestari selaku ketua PDKK periode 2011-2012 menyatakan: “Saya bersyukur Tuhan memberikan saya kesempatan untuk bergabung dalam PDKK. Komunitas dimana kami belajar untuk saling menguatkan dan mengingatkan, melayani dan memberi, dan menjadi satu keluarga dalam Yesus Kristus. Menilas balik perjalan PDKK, kami bisa merasakan bahwa Tuhan sendirilah yang menjadi pembimbing kami selama ini, dan Ia sendirilah yang terus mencukupkan kebutuhan komunitas kami. Dalam segala keterbatasan yang kami miliki, Tuhan mengajarkan pada kami arti percaya sepenuhnya pada kuasaNya."
Dalam Anggaran Dasar-nya, dinyatakan bahwa arti lambang PDKK Hati Kudus Yesus adalah Api melambangkan Roh Kudus, hati yang berwarna merah melambangkan Hati Kudus Yesus, duri melambangkan sengsara dan penderitaan Kristus, dan cahaya melambangkan terang dan garam dunia. Empat belas sinar adalah tujuh ditambah tujuh, yaitu kesempurnaan janji Allah dalam Perjanjian Lama dan kesempurnaan dalam penggenapannya dalam Perjanjian Baru. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan api Roh Kudus dan semangat kasih yang bersumber dari Hati Kudus Yesus dan kekuatan yang berasal dari peringatan akan Kisah Sengsara Yesus, organisasi ini akan menjadi terang dan garam dunia dalam memperluas Kerajaan Allah yang ada di Guangzhou. Selanjutnya dikatakan bahwa PDKK Hati Kudus Yesus berlandaskan pada Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja, dengan semangat Pancasila dan tidak mengabaikan toleransi dengan agama-agama lain. Pelindung PDKK adalah Santo Yosep, dimana seperti Yesus yang lahir pada hari Natal dilindungi oleh Santo Yosep sehingga Yesus bertumbuh besar dan berkarya menjadi berkat bagi seluruh dunia. Maka, diharapkan Komunitas, yang lahir pada hari Natal, ini juga dilindungi oleh Santo Yosep sehingga Komunitas ini bertumbuh besar, berkarya dan menjadi berkat bagi dunia.
Bagi mereka yang ingin belajar, berobat atau melayani di Guangzhou bisa menghubungi PDKK Hati Kudus Yesus di telepon nomer +8613600063424 atau email pdkkhkygz@yahoo.com.

Guangzhou, November 5, 2011


Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible

P.S. Sebagian dari liputan ini dimuat di Mingguan HIDUP 6 November 2011

Thursday, November 24, 2011

Renungan: Hukum yang Terutama

Hari Minggu Biasa XXX, Hari Minggu Misi Sedunia
Bacaan I: Kel 22:21-27; Bacaan II: 1Tes 1:5c-10; Injil: Mat 22:34-40

Dalam Injil kita mendengar tentang Hukum yang Terutama dan pertama, yaitu Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Artinya mengasihi Allah dengan total, artinya pertama-tama mencari kehendak Allah dan bukan kehendak sendiri bahkan juga bukan kehendak orang tua, pacar, suami, istri, dll meskipun bukan tidak mungkin kehendak Allah tampak dalam kehendak mereka. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mohon rahmat untuk menjadi pribadi seperti yang Allah inginkan.
Sedangkan Hukum yang kedua, yaitu Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Beberapa contoh konkritnya bisa dilihat di dalam bacaan pertama, dimana kita mendengar bagaimana bertindak terhadap orang-orang yang tidak mampu, terhadap orang asing, terhadap janda dan anak yatim, terhadap orang yang meminjam uang dan menggadaikan pakaiannya. Ketika kita kehabisan uang karena kiriman uang terlambat datang, menjadi pendatang di tempat baru, kehilangan orang tua atau pasangan hidup, kita tentu berharap ada yang menolong, terutama secara materi.
Bagaimana bersikap terhadap barisan pengemis di depan Gereja? Memberi mereka sedekah padahal ada yang mengatakan bahwa memberi kepada penggemis membuat mereka semakin malas. Dalam buku kolaboratif saya dengan Romo Lukas Batmomolin, SVD yang berjudul Kasih Sahabat, saya menuliskan: “Saat itu saya sedang berjalan di depan sebuah pertokoan. Ada seorang lelaki berkulit hitam melambaikan sepotong kertas dengan tulisan meminta USD. 1.00, sepertinya dia bisu. Saya tetap berjalan sambil membuka dompet saya. Tidak ada uang USD. 1.00 di dompet, jadi saya memberi isyarat kepadanya bahwa saya tidak mempunyainya. Saya terus melangkah sampai berbelok di tikungan jalan dan tibatiba terlintas dalam pikiran saya bahwa saya bisa memberinya USD. 5.00. Saya membuka dompet sambil berjalan kembali ke arahnya. Dia tidak ada lagi di tempatnya. Saat itu, saya hanya bisa berpikir, bahwa saya telah melalaikannya, yang bisa jadi adalah Yesus yang dihadirkan dalam hidup saya. Ini menjadi pengalaman yang sangat berarti untuk saya, meskipun saya menyadari bahwa saya masih sering lalai dalam membantu sesama yang membutuhkan.” Sejak saat itu, saya berusaha memberi sedekah, terutama kepada yang cacat dan mengatakan dalam hati “maafkan saya karena tidak bisa memberi” ketika melewati pengemis tanpa memberi sedekah karena berbagai alasan. Saya juga pernah melihat beberapa pengemis sedang bermain judi.
Kasih kepada sesama ini juga tecermin dalam pesan Bapa Paus Benediktus XVI untuk Hari Minggu Misi Sedunia ke-85 yang jatuh hari ini: Mewartakan Injil berarti Gereja harus menyentuh sendi-sendi kehidupan manusia dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Pasti tidak akan dapat diterima, sebagaimana dinyatakan oleh Hamba Tuhan Paus Paulus VI, kalau di dalam evangelisasi tema-tema pemberdayaan manusia, keadilan, kemerdekaan dari aneka bentuk penindasan, yang pada gilirannya berkaitan dengan hormat terhadap otonomi lingkungan politik, harus diabaikan. Mengabaikan masalah-masalah kemanusiaan saat ini “akan mengabaikan suatu pesan Injili bagi kita berkenaan dengan kasih kepada sesama yang menderita dan lapar” (Desakan Apostolik Evangelii Nuntiandi, 31.34). Beliau juga mengatakan: Misi atau tugas perutusan universal tersebut melibatkan semua orang, meliputi segala sesuatu dan sepanjang segala masa. Injil tidak hanya menjadi milik mereka yang menerimanya secara eksklusif, tetapi juga merupakan suatu rahmat yang harus dibagi-bagikan, kabar gembira yang harus disampaikan kepada orang lain. …. Banyak kebudayaan sedang berubah, antara lain oleh globalisasi, oleh aliran-aliran pemikiran relativisme yang sangat kuat, suatu perubahan yang membawa kita kepada mentalitas dan gaya hidup yang mengabaikan pesan Injil, seolah-olah Tuhan tidak ada, yang berarti hanya mengagung-agungkan kesejahteraan hidup, gampang mendapatkan uang, karir dan kesuksesan sebagai tujuan hidupnya, meskipun bertentangan dengan nilai-nilai moral.
Bersama dengan Rasul Paulus, kita berani mengatakan bahwa pesan Injil bukan disampaikan dengan kata-kata saja, tetapi dengan kekuatan Roh Kudus, sehingga kita sungguh bisa menjadi saksi hidup dalam mewartakan Injil, karena kita tidak hanya berkata-kata tetapi juga melakukannya. Ini tentunya butuh komitmen setiap saat.

Guangzhou, 20 Oktober 2011


Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible

P.S. Materi renungan ini untuk Komsel St. Theresia pada 20 Oktober 2011

Friday, October 14, 2011

Sharing: 给妈妈的一封信



黄莉莉(Anastasia Birgitta Lindawati) 初级3C班 印尼(Indonesia)

亲爱的妈妈:
您好!
最近您身体好吗?我离开家七个月了。最近家乡天气怎么样?这里的天气每天都不一样,昨天没有太阳,所以很冷,今天太阳出来了,所以很舒服,好像已经到了夏天。
刚到中国的时候,我觉得不太习惯,那时候什么人都不认识,只有几个印尼朋友。还有,中国菜有很多油,所以吃得很少。我觉得你做的菜好吃多了。我的体重一下子比原来减少了三公斤。
但是现在不一样了。我学汉语学了七个月了,汉语比以前说得好多了,可以跟朋友一起聊天。我们班的同学来自几个不同国家,所以我们用英语和汉语交流。星期一到星期五我去教室上课。每天我上三个半小时:读写,听力和口语课。我也学太极拳,书法,写作和剪纸。不用上课的时候,我有时候跟朋友一起吃饭,有时候去旅游。还有,每个星期天我去教室,教室很大和很漂亮,坐地铁就能去到。我们清明节放假三天,所以我打算自己去泉州。
虽然现在的生活没有在印尼的舒服,可是我在这里不但学会说汉语,还交到很多朋友,学到不少生活的知识,我觉得很幸福。
下个月我们有期中考试,六月我们有期末考试,我要好奥学习才能取得好成绩。这学期结束后我打算回印尼去,那是您给我做好吃的东西,好吗?我很想吃您做的菜,我很想见家人,有空给我回信吧!
祝您身体健康!
女儿 莉莉
2011年3月31号

评语:这封信写得很真实,叙述很清楚。黄莉莉同学告诉她妈妈自己在广州留学的情况,广州的天气,自己的生活和学习方面的情况。这是刚开始上写作课一篇文章,虽然很简单,但是感情很真,很有意思! (老师:王意颖)

Tuesday, October 4, 2011

Serba Serbi: Mengenal Kitab Hukum Kanonik


PENGANTAR
Kitab Hukum Kanonik (=Codex Iuris Canonici) telah diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II sepuluh tahun lalu, tepatnya pada tanggal 25 Januari 1983, dimana Kitab Hukum ini (KHK) merupakan pembaharuan dari Kitab Hukum Kanonik yang berlaku sejak tahun 1917 dan merupakan realisasi dari program Paus Yohanes XXIII di awal masa kepausannya, yaitu Aggiornamento Gereja.
Meski telah berusia sepuluh tahun, bisa jadi banyak umat Katolik yang tidak tahu bahwa Gereja juga mempunyai Kitab Hukum yang berlaku untuk Gereja di seluruh dunia, yang bertujuan untuk menunjukkan kepada semua warga Gereja setempat, hak dan kewajiban masing-masing dalam keseluruhan umat Allah dan di dalamnya tertulis pula apa dan bagaimana pelaksanaan peranserta mereka dalam karya penyelamatan Gereja (Kata Pengantar Ketua MAWI, Mgr. F.X. Hadisumarta, O.Carm).
Dengan dasar pemikiran seperti itulah, maka mulai edisi ini muncul Ruang baru, yaitu Mengenal Kitab Hukum Kanonik. Tulisan ini akan dibuat sependek mungkin, meski dengan akibat akan lama tamatnya karena ada 1752 kanon, dimana untuk kanon-kanon yang dianggap penting akan dituliskan sebagaimana aslinya, sedangkan yag lain hanya akan dituliskan intinya.
Apa yang dituliskan di ruang ini bukanlah teks resmi, tulisan ini hanya dimaksudkan agar KHK ini dikenal oleh umat tidak hanya menjadi koleksi para imam dan calon imam agar apa yang diharapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Sacrae Disciplinae Leges dapat terwujud, yaitu “Kitab Hukum sama sekali tdak bertujuan untuk mengganti iman, rahmat, karisma-karisma dan terlebih-lebih cinta kasih dalam kehidupan Gereja atau kaum beriman Kristiani. Sebaliknya Kitab Hukum bertujuan terutama untuk menumbuhkan ketertiban yang sedemikian rupa dalam masyarakat Gerejawi, yang memberikan tempat utama kepada cinta, rahmat dan karisma-karisma, namun sekaligus ia memudahkan perkembangan yang teratur dari semuanya itu baik dalam kehidupan masyarakat gerejawi maupun dalam kehidupan tiap-tiap orang yang termasuk di dalamnya.”
Sumber yang dipakai adalah Kitab Hukum Kanonik cetakan ketiga, tahun 1991, yang merupakan edisi yang telah direvisi oleh Panitia Hukum Gereja KWI dan merupakan edisi terjemahan resmi.
Selamat membaca! (A. B. Lindawati)
PENDAHULUAN
Kebiasaan untuk menghimpun kanon-kanon suci dalam satu kesatuan sudah dikenal sejak jaman Gereja Purba, meskipun pada masa-masa awal lebih merupakan prakarsa pribadi. Dan karena pada perkembangan selanjutnya, yang muncul adalah ketidakteraturan, ketidakpastian, ketidakgunaan sehingga makin hari makin membawa tata tertib Gereja ke dalam bahaya dan krisis yang besar, maka sejak masa persiapan Konsili Vatikan I, para Uskup telah meminta untuk dipersiapkannya himpunan undang-undang baru dan tunggal untuk melaksanakan reksa terhadap umat Allah dengan lebih pasti dan aman.
Selama dua belas tahun dengan kerjasama dari para ahli, para penasehat dan para Uskup dari seluruh Gereja diselesaikanlah pekerjaan mengumpulkan dan memperbaharui semua hukum gerejawi, yang kemudian diundangkan oleh Paus Benedictus XV pada tanggal 27 Mei 1917 dan mendapat kekuatan hukum sejak tanggal 19 Mei 1918. Kitab Hukum yang baru ini tidak bermaksud membuat hukum baru, melainkan terutama mengatur hukum yang berlaku sampai waktu itu dengan metode baru.
Tetapi dengan terjadinya perubahan-perubahan ekstern Gereja di dunia masa kini serta perubahan-perubahan intern Gereja, maka revisi baru atas kitab hukum kanonik merupakan hal yang perlu bahkan mendesak. Tanda-tanda jaman ini telah ditangkap dengan jelas oleh Paus Yohanes XXIII, yang ketika mengumumkan akan diadakannya Sinode Roma dan Konsili Vatikan II, juga menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa itu juga merupakan persiapan untuk melakukan pembaharuan hukum.
Komisi Pembaharuan Kitab Hukum Kanonik dibentuk pada tanggal 28 Maret 1963 tetapi pada akhirnya memutuskan bahwa pekerjaan yang sebenarnya dan khusus untuk mengadakan pembaharuan harus ditunda dan hanya dapat dimulai setelah Konsili selesai, sebab pembaharuan harus dilakukan sesuai dengan anjuran-anjuran dan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh konsili itu sendiri.
Baru dua puluh tahun kemudian pekerjaan pembaharuan itu selesai, yang kemudian diundangkan pada hari ulang tahun pengumuman pertama pembaharuan Kitab Hukum yang dilakukan oleh Paus Yohanes XXIII.
Kini tersedialah bagi para gembala dan kaum beriman Kristiani hukum Gereja yang terbaru, yang sederhana, jelas, harmonis dan sesuai dengan ilmu hukum; di samping itu sembari tidak bertentangan dengan cinta kasih, kewajaran, kemanusiaan dan diresapi sepenuhnya oleh semangat Kristiani sejati, berusaha menjawab cirri ekstern dan intern yang diberikan oleh Tuhan kepada Gereja dan sekaligus menjawab situasi dan kebutuhan Gereja di dunia jaman sekarang ini.
Para Gembala memiliki norma-norma yang pasti untuk mengarahkan kegiatan pelayanan suci mereka secara tepat; setiap orang juga diberi kesempatan untuk mengenal hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing dan ditutup jalan untuk bertindak sewenang-wenang; penyalahgunaan yang mungkin timbul dalam tata tertib gerejawi karena tidak adanya undang-undang, dengan lebih mudah dapat dilenyapkan dan dicegah; semua karya kerasulan, lembaga-lembaga dan prakarsa-prakarsa memang mempunyai dasar untuk maju dan berkembang, sehingga ketertiban yang sehat dalam tatanan yuridis memang perlu agar persekutuan gerejawi menjadi kuat, bertumbuh dan berkembang.
BUKU I
Kanon 1-6 menyatakan antara lain, KHK ini berlaku hanya untuk Gereja Latin, tidak menentukan tatacara yang harus ditepati dalam perayaan-perayaan liturgis, status perjanjian-perjanjian, hak-hak, previlegi-revilegi, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku sekarang serta penghapusan beberapa hukum dan undang-undang.
Pemberlakuan undang-undang gerejawi baik mulai pemberlakuan, cara diundangkan, orang-orang yang terikat oleh undang-undang gerejawi penafsiran undang-undang, status undang-undang yang lama, serta status undang-undang sipil diatur dalam Kanon 7-22.
Kebiasaan-kebiasaan yang dapat memperoleh kekuatan hukum serta waktu pelaksanaan yang dibutuhkan bila kebiasaan tersebut melawan atau berada di luar hukum kanonik diatur dalam kanon 23-28.
Kedudukan dekret umum, yang boleh mengeluarkan dekret umum, pengeluaran dekret umum eksekutif (termasuk siapa saja yang terikat kekuatan hukumnya) serta pengeluaran instruksi (termasuk kekuatan hukumnya) diatur dalam kanon 29-34.
Tindakan administratif dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa eksekutif dan harus dimengerti menurut arti kata-kata itu sendiri dan pemakaian umumnya sehari-hari. Pemberian harus secara tertulis bila menyangkut tata lahir (Kanon 35-37). Kekuatan hukum tindakan administratif, pelaksanaan tindakan administratif (keabsahan pelaksanaan tugas, norma yang harus dituruti, kemungkinan pengganti) dan masa berlakunya diatur dalam Kanon 35-37.
Dekret individual adalah suatu tindakan administratif yang dikeluarkan oleh kuasa eksekutif yang berwenang, sedangkan perintah individual adalah suatu dekret yang mewajibkan secara langsung dan menurut hukum, seseorang atau orang tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Kanon 48-49). Dekret individual harus diberikan secara tertulis, sebelum dikeluarkan, kuasa yang bersangkutan harus mencari informasi dan bukti yang perlu dan sedapat mungkin mendengarkan mereka yang haknya mungkin dirugikan, hanya berlaku mengenai hal-hal yang diputuskan dan untuk orang-orang yang diberi dekret itu (Kanon 50-52). Kedudukan dekret khusus, pemberitahuan dekret, waktu pengeluaran dekret serta masa berlakunya diatur dalam Kanon 53-38.
Reskrip adalah suatu tindakan administratif yang dibuat secara tertulis oleh kuasa eksekutif yang berwenang, dapat diperoleh oleh semua orang yang tidak dilarang dengan tegas dan dapat diperoleh untuk orang lain kecuali kalau nyata lain (Kanon 59-61). Efek reskrip, penyebab penghalang sahnya reskrip, tentang penolakan (baik oleh salah satu departemen Kuria Roma, Ordinarisnya sendiri maupun oleh Vikaris), pemberitahuan reskrip Takhta Apostolik kepada Ordinaris, pengguna reskrip, perpanjangan reskrip serta pembuktiannya bila diberikan secara lisan diatur dalam Kanon 62-75.
Previlegi atau kemurahan yang diberikan lewat suatu tindakan khusus demi keuntungan perorangan atau badan hukum tertentu, dapat diberikan oleh pembuat undang-undang maupun kuasa eksekutif yang berwenang dan selalu harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga sungguh-sungguh memberikan kemurahan bagi yang menerimanya (Kanon 76-77). Masa berlakunya suatu previlegi diatur dalam Kanon 78-84.
Dispensasi atau pelonggaran dalam kasus tertentu dari undang-undang yang semata-mata gerejawi dapat diberikan oleh kuasa eksekutif dalam batas-batas kewenangannya dan oleh mereka yang memiliki kuasa memberikan dispensasi (Kanon 85). Undang-undang yang tidak dapat diberi dispensasi, pemberian dispensasi oleh Uskup Diosesan, imam dan diakon yang boleh memberikan dispensasi, syarat pemberian dispensasi, serta masa berlakunya diatur dalam Kanon 86-93.
Statuta atau peraturan-peraturan yang ditetapkan menurut norma hukum untuk kelompok orang atau benda dan didalamnya dirumuskan tujuan, tatanan, kepemimpinan dan tata kerjanya (Kanon 94 $1). Kelompok yang diwajibkan oleh statuta serta pengaturan ketentuan-ketentuan statuta yang dibuat dan diundangkan atas dasar kuasa legislatif diatur dalam Kanon 94 $2-3.
Tertib-acara adalah aturan-aturan atau norma-norma yang harus ditepati dalam rapat-rapat dan mengikat mereka yang mengambil bagian di dalamnya (Kanon 95)…..
P.S.
Dimuat di Berita Umat Paroki Katedral Bogor Desember 93 – Januari 94, selengkapnya bisa dibaca sendiri dari Kitab Hukum Kanonik Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Juni 2006.
Diketik ulang pada 3 Oktober 2011.