Selamat malam Bapak/Ibu/Saudara/Saudari sekalian. Pertama-tama saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Pater Reggie, SVD yang telah memberi kesempatan, untuk mensharingkan panggilan saya sebagai seorang suster Maryknoll dan memberikan refleksi tentang bacaan hari ini.
Nama lengkap saya Anastasia Birgitta Lindawati, dilahirkan di Jombang, menempuh pendidikan di sekolah katolik sampai SMA dan dibaptis sewaktu kelas tiga SMA.
Ketika sedang duduk di depan gua Maria di Pertapaan Karmel Tumpang, di bulan Oktober 2005, saya mulai menangis ketika menyadari betapa Tuhan sangat memberkati saya, dan mulai berpikir tentang panggilan hidup saya. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan empat bulan kemudian. Saya mulai mengunjungi beberapa komunitas biarawati, mengikuti beberapa retret dan Sekolah Evangelisasi se-Asia Pasifik di Australia.
Saya mengenal Maryknoll Sisters pada bulan Juni 2006, melalui dua orang imam yang pernah menjadi murid Maryknoll Sisters sewaktu masih frater di Bandung. Komunikasi saya dengan Maryknoll Sisters berlangsung melalui email, mengingat tidak ada biara Maryknoll Sisters di Indonesia sejak kemerdekaan Timor Leste.
Saya menjalani “live in” di Maryknoll Sisters Filipina selama empat bulan dan diterima untuk menjalani masa orientasi sebagai calon Maryknoll Sisters, sehingga saya berangkat ke Amerika Serikat pada bulan Juli 2007. Selama masa orientasi di Chicago, saya tinggal bersama tiga orang calon yang lain, dan dua orang suster direktur, bergiliran memasak, membersihkan rumah, memimpin ibadat pagi dan sore, menjalani pendidikan di Catholic Theological Union, mengunjungi pasien di rumah sakit dan penderita HIV/AIDS, menjadi volunteer di pusat kehamilan, dll.
Saya mengucapkan kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan, untuk tiga tahun pada tanggal 9 Agustus 2009 di New York, dimana saya berjanji untuk hidup sederhana, dan dengan ketaatan sebagai wanita selibat dalam komunitas, mengikuti Injil, dan berkomitmen untuk melayani misi universal Gereja. Saya mendapat penempatan pertama di regio Cina yang meliputi Cina, Hong Kong dan Makau, saya akan berangkat ke Guangzhou 3 September 2010 untuk belajar Mandarin selama dua tahun tetapi akan pulang ke Hong Kong sesekali.
Bila melihat kembali perjalanan hidup religius saya, maka itu merupakan cerita tentang kesetiaan Allah terhadap janjiNya sebagaimana tertulis dalam Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma 8: 28 “Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Saya sudah pernah memutuskan untuk tidak menjadi biarawati semasa kuliah tetapi ternyata Tuhan memberi kesempatan kedua.
Yang menjadi tanda sebagai seorang suster Maryknoll adalah cincin dengan logo Chi Rho, yaitu dua huruf pertama dalam bahasa Yunani yang artinya Kristus, dan lingkaran yang melambangkan dunia.
Setelah menyerahkan sebagian besar sekolah termasuk Maryknoll Convent School di Kowloon Tong, rumah sakit termasuk Our Lady of Maryknoll Hospital di Wong Tai Sin, dan lembaga lain kepada awam, kami melakukan berbagai jenis pelayanan di Afrika, Asia, Amerika dan Kepulauan Pasifik, seperti mengadakan latihan kepemimpinan, mengajar, merintis proyek penambah penghasilan, dan melayani penderita HIV/AIDS.
Bagi yang berminat untuk membaca lebih detail pengalaman-pengalaman saya, bisa membacanya di website Maryknoll Sisters, blog serta facebook saya.
Dalam Injil hari ini, kita mendengar bagaimana Yesus mengatakan tentang kerendahan hati dengan mengatakan “…Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan….” Yesus sendiri mengatakan bahwa diriNya lemah lembut dan rendah hati seprti tertulis dalam Injil Matius 11: 29: “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.”
Dalam bahasa Inggris kerendahan hati adalah humility, yang berasal dari bahasa Latin humus, yang berarti tanah. Hal ini karena ditujukan pada orang yang menyadari asal usulnya, yang akan membawanya pada sikap memuliakan Tuhan, Pencipta-Nya. Allah yang Maha Kuasa telah mengangkat manusia yang kecil, hina, dan kotor menjadi anak-anak-Nya sendiri, sehingga tumbuhlah sikap melayani. Kerendahan hati seyogyanya dimiliki oleh setiap pengikut Kristus, karena setiap orang Kristen rawan untuk jatuh ke dalam kesombongan. Yesus, Putera Allah, memberi mereka kuasa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya, bahkan yang lebih besar daripada itu (bdk. Yoh. 14:12).
Orang yang rendah hati tidak mengharapkan pamrih dalam setiap pelayanannya, sehingga terbebas dari kesombongan kalau dipuji, namun, juga tidak akan berkecil hati kalau gagal setelah berusaha dengan maksimal karena hasilnya diserahkan kepada Tuhan.
Selama hidup berkomunitas, saya dipanggil untuk terus menerus belajar untuk menjadi rendah hati, terutama dalam menerima perbedaan karena tidak ada dua orang yang sama, baik di Maryknoll Sisters maupun di komunitas manapun. Dalam buku “Kasih Sahabat” yang saya tulis bersama Romo Lukas Batmomolin, SVD, saya mengutip kata-kata Ibu Mary Joseph, pendiri Maryknoll Sisters, “Kita tahu bahwa tidak ada dua orang dari kita yang sama. Tuhan tidak membuat kita demikian, tetapi telah menganugerahkan kepada kita berbagai bakat, temperamen yang berbeda dan kekuatan fisik yang sangat berbeda, dan semuanya digunakan untuk kemuliaan Tuhan.” Saya berusaha untuk mengemukakan pendapat/keinginan saya, mendengarkan pendapat/keinginan anggota komunitas yang lain dan menyiapkan diri untuk dengan rendah hati menerima keputusan yang akan diambil karena keputusan dalam hidup berkomunitas bukanlah keputusan saya pribadi sebagaimana biasa saya lakukan sebelum menjadi biarawati, tetapi merupakan keputusan bersama, seperti halnya dalam hidup berkeluarga. Tentu tidak mudah, terutama ketika menghadapi perbedaan yang besar atau secara mendadak, karenanya harus dipraktekkan setiap hari.
Saya akan mengakhiri refleksi malam ini dengan beberapa cara mempraktekkan kerendahan hati oleh Mother Theresa, yang sangat tidak mudah, yaitu mengurus urusan sendiri, tidak ingin mencampuri urusan orang lain, menghindari rasa ingin tahu, menerima pertentangan dan kritik dengan senang hati, tidak mengingat-ingat kesalahan orang lain, menerima apabila dihina dan disakiti, menerima apabila diabaikan, dilupakan dan dibenci, tidak berusaha agar dikasihi dan dikagumi secara istimewa, lemah lembut dan ramah bahkan andai orang memancing amarah kita, tidak pernah menuntut agar dihargai, mengalah dalam perdebatan bahkan andai kita benar, selalu memilih yang tersulit. Dan tambahan dari saya, mendoakan orang yang menyakiti kita.
Semoga Tuhan selalu memberkati kita semua dalam perjalanan misionaris kita masing-masing terutama agar kita semakin rendah hati.
Hong Kong, 27 Agustus 2010
Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible
Nama lengkap saya Anastasia Birgitta Lindawati, dilahirkan di Jombang, menempuh pendidikan di sekolah katolik sampai SMA dan dibaptis sewaktu kelas tiga SMA.
Ketika sedang duduk di depan gua Maria di Pertapaan Karmel Tumpang, di bulan Oktober 2005, saya mulai menangis ketika menyadari betapa Tuhan sangat memberkati saya, dan mulai berpikir tentang panggilan hidup saya. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan empat bulan kemudian. Saya mulai mengunjungi beberapa komunitas biarawati, mengikuti beberapa retret dan Sekolah Evangelisasi se-Asia Pasifik di Australia.
Saya mengenal Maryknoll Sisters pada bulan Juni 2006, melalui dua orang imam yang pernah menjadi murid Maryknoll Sisters sewaktu masih frater di Bandung. Komunikasi saya dengan Maryknoll Sisters berlangsung melalui email, mengingat tidak ada biara Maryknoll Sisters di Indonesia sejak kemerdekaan Timor Leste.
Saya menjalani “live in” di Maryknoll Sisters Filipina selama empat bulan dan diterima untuk menjalani masa orientasi sebagai calon Maryknoll Sisters, sehingga saya berangkat ke Amerika Serikat pada bulan Juli 2007. Selama masa orientasi di Chicago, saya tinggal bersama tiga orang calon yang lain, dan dua orang suster direktur, bergiliran memasak, membersihkan rumah, memimpin ibadat pagi dan sore, menjalani pendidikan di Catholic Theological Union, mengunjungi pasien di rumah sakit dan penderita HIV/AIDS, menjadi volunteer di pusat kehamilan, dll.
Saya mengucapkan kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan, untuk tiga tahun pada tanggal 9 Agustus 2009 di New York, dimana saya berjanji untuk hidup sederhana, dan dengan ketaatan sebagai wanita selibat dalam komunitas, mengikuti Injil, dan berkomitmen untuk melayani misi universal Gereja. Saya mendapat penempatan pertama di regio Cina yang meliputi Cina, Hong Kong dan Makau, saya akan berangkat ke Guangzhou 3 September 2010 untuk belajar Mandarin selama dua tahun tetapi akan pulang ke Hong Kong sesekali.
Bila melihat kembali perjalanan hidup religius saya, maka itu merupakan cerita tentang kesetiaan Allah terhadap janjiNya sebagaimana tertulis dalam Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma 8: 28 “Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Saya sudah pernah memutuskan untuk tidak menjadi biarawati semasa kuliah tetapi ternyata Tuhan memberi kesempatan kedua.
Yang menjadi tanda sebagai seorang suster Maryknoll adalah cincin dengan logo Chi Rho, yaitu dua huruf pertama dalam bahasa Yunani yang artinya Kristus, dan lingkaran yang melambangkan dunia.
Setelah menyerahkan sebagian besar sekolah termasuk Maryknoll Convent School di Kowloon Tong, rumah sakit termasuk Our Lady of Maryknoll Hospital di Wong Tai Sin, dan lembaga lain kepada awam, kami melakukan berbagai jenis pelayanan di Afrika, Asia, Amerika dan Kepulauan Pasifik, seperti mengadakan latihan kepemimpinan, mengajar, merintis proyek penambah penghasilan, dan melayani penderita HIV/AIDS.
Bagi yang berminat untuk membaca lebih detail pengalaman-pengalaman saya, bisa membacanya di website Maryknoll Sisters, blog serta facebook saya.
Dalam Injil hari ini, kita mendengar bagaimana Yesus mengatakan tentang kerendahan hati dengan mengatakan “…Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan….” Yesus sendiri mengatakan bahwa diriNya lemah lembut dan rendah hati seprti tertulis dalam Injil Matius 11: 29: “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.”
Dalam bahasa Inggris kerendahan hati adalah humility, yang berasal dari bahasa Latin humus, yang berarti tanah. Hal ini karena ditujukan pada orang yang menyadari asal usulnya, yang akan membawanya pada sikap memuliakan Tuhan, Pencipta-Nya. Allah yang Maha Kuasa telah mengangkat manusia yang kecil, hina, dan kotor menjadi anak-anak-Nya sendiri, sehingga tumbuhlah sikap melayani. Kerendahan hati seyogyanya dimiliki oleh setiap pengikut Kristus, karena setiap orang Kristen rawan untuk jatuh ke dalam kesombongan. Yesus, Putera Allah, memberi mereka kuasa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya, bahkan yang lebih besar daripada itu (bdk. Yoh. 14:12).
Orang yang rendah hati tidak mengharapkan pamrih dalam setiap pelayanannya, sehingga terbebas dari kesombongan kalau dipuji, namun, juga tidak akan berkecil hati kalau gagal setelah berusaha dengan maksimal karena hasilnya diserahkan kepada Tuhan.
Selama hidup berkomunitas, saya dipanggil untuk terus menerus belajar untuk menjadi rendah hati, terutama dalam menerima perbedaan karena tidak ada dua orang yang sama, baik di Maryknoll Sisters maupun di komunitas manapun. Dalam buku “Kasih Sahabat” yang saya tulis bersama Romo Lukas Batmomolin, SVD, saya mengutip kata-kata Ibu Mary Joseph, pendiri Maryknoll Sisters, “Kita tahu bahwa tidak ada dua orang dari kita yang sama. Tuhan tidak membuat kita demikian, tetapi telah menganugerahkan kepada kita berbagai bakat, temperamen yang berbeda dan kekuatan fisik yang sangat berbeda, dan semuanya digunakan untuk kemuliaan Tuhan.” Saya berusaha untuk mengemukakan pendapat/keinginan saya, mendengarkan pendapat/keinginan anggota komunitas yang lain dan menyiapkan diri untuk dengan rendah hati menerima keputusan yang akan diambil karena keputusan dalam hidup berkomunitas bukanlah keputusan saya pribadi sebagaimana biasa saya lakukan sebelum menjadi biarawati, tetapi merupakan keputusan bersama, seperti halnya dalam hidup berkeluarga. Tentu tidak mudah, terutama ketika menghadapi perbedaan yang besar atau secara mendadak, karenanya harus dipraktekkan setiap hari.
Saya akan mengakhiri refleksi malam ini dengan beberapa cara mempraktekkan kerendahan hati oleh Mother Theresa, yang sangat tidak mudah, yaitu mengurus urusan sendiri, tidak ingin mencampuri urusan orang lain, menghindari rasa ingin tahu, menerima pertentangan dan kritik dengan senang hati, tidak mengingat-ingat kesalahan orang lain, menerima apabila dihina dan disakiti, menerima apabila diabaikan, dilupakan dan dibenci, tidak berusaha agar dikasihi dan dikagumi secara istimewa, lemah lembut dan ramah bahkan andai orang memancing amarah kita, tidak pernah menuntut agar dihargai, mengalah dalam perdebatan bahkan andai kita benar, selalu memilih yang tersulit. Dan tambahan dari saya, mendoakan orang yang menyakiti kita.
Semoga Tuhan selalu memberkati kita semua dalam perjalanan misionaris kita masing-masing terutama agar kita semakin rendah hati.
Hong Kong, 27 Agustus 2010
Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible
P.S. Sharing dan refleksi diberikan sesudah bacaan Injil dalam misa 28 Agustus 2010 di Catholic Center.