(2Sam. 7:1-5,8b-12,14a,16; Mzm. 89:2-3,4-5,27,29: Rm. 16:25-27: Luk. 1:26-)
Minggu ini kita memasuki Minggu Adven ke-empat, tiba saatnya menyalakan lilin ke-empat pada krans Natal, artinya satu minggu lagi untuk menyiapkan kedatangan Sang Juru Selamat, memasang dekorasi Natal, mengirim kartu Natal, dan yang terutama membersihkan diri dari noda dosa sehingga dapat menerima Kristus dengan sukacita pada hari Natal. Di beberapa tempat mungkin sudah merayakan Natal pada masa Adven (ada tulisan yang bagus tentang merayakan Natal sebelum 25 Desember oleh Pdt. Daniel T.A. Harahap http://rumametmet.com/2008/11/27/tentang-perayaan-natal-surat-terbuka/ dan oleh Pdt. Joas Adiprasetya: http://rumametmet.com/2010/11/28/merayakan-natal-sebelum-25-desember-jangan-dong/. Pdt. Joas mengatakan: “…Nah, kini bayangkan kekacauan yang bakal muncul jika Natal dirayakan sebelum tanggal 25 Desember—katakanlah tanggal 16 Desember—yaitu ketika kita masuk pada masa adventus, yang pada intinya mempersiapkan diri kita untuk menyambut Natal dengan baik. Lalu setelah itu (17 Desember) kita kembali memasuki masa persiapan Natal (masa Adventus) menurut kalendar gerejawi. Apa bukan sebuah kekacauan? Jika ini dilangsungkan, maka kacaulah seluruh struktur kalendar gerejawi dan penghayatan kita terhadap makna Adventus dan Natal menjadi kabur dan tak lagi bermakna.”)
Lewat masa Adven, Gereja mengajak kita untuk belajar menunggu, sesuatu yang seringkali membosankan dan mungkin sudah bukan menjadi budaya masyarakat dewasa ini. Kita sudah terbiasa dengan makanan cepat saji, siapa yang cepat dia yang dapat, termasuk ketika mengantri MTR atau bus di Guangzhou ini. Sesudah doa Bapa Kami, imam akan mengatakan “…sehingga kami dapat hidup dengan tenteram sambil mengharapkan kedatangan Penyelamat kami.” Apakah kita menunggu kedatangan Sang Juru Selamat dengan tenteram, dengan kebosanan atau dengan tidak sabar
?
?
Dalam bacaan pertama Minggu Adven ke-empat ini, kita mendengar bagaimana Tuhan tidak mau Daud mendirikan rumah bagiNya karena keturunannyalah yang akan mendirikan rumah bagi Tuhan. Karenanya, Tuhan berjanji bahwa keluarga dan kerajaannya akan kokoh selama-lamanya. Janji Tuhan ini diulangi oleh malaikat Gabriel ketika memberitahukan tentang kelahiran Yesus kepada Maria, seorang perawan yang sudah bertunangan dengan Yusuf. Dalam silsilah Yesus yang terdapat dalam Injil Mateus, kita tahu bahwa ada empat belas keturunan Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel dan empat belas keturunan dari pembuangan Babel sampai Kristus (Mat 1: 17). Janji Tuhan itu masih digenapi sampai sekarang lewat GerejaNya, yang didirikan oleh Yesus sendiri, meskipun kini ada begitu banyak denominasi dan bahkan ritus dalam Gereja Katolik Roma.
Lewat bacaan Injil, kita mendengar pemberitahuan tentang kelahiran Yesus oleh malaikat Gabriel kepada Bunda Maria, seorang perawan, yang dikandung tanpa noda asal sebagaimana dogma Gereja Katolik sejak 1854, yang diperkuat dengan pesan yang disampaikan oleh Bunda Maria dalam penampakan kepada Bernadette Soubirous di Lourdes. Hal ini sudah dinubuatkan dalam Yesaya 7: 14 bahwa “…seorang perempuan muda (dalam Christian Community Bible dikatakan “The Virgin”) mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Immanuel.” Pemberitahuan ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan bagaimana hal itu mungkin terjadi karena Bunda Maria belum bersuami tetapi juga konsekuensi yang berat. Kita tentu masih ingat tentang wanita yang tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah dan menurut hukum Taurat harus dilempari batu. Di sini kita mendengar pesan bahwa bagi Allah tidak ada yang mustahil. Bagaimana Allah menyiapkan segalanya bagi kelahiran Juru Selamat. Kalau Allah melakukan hal yang mustahil di zaman itu, maka kita juga percaya bahwa Allah juga tetap akan melakukan hal yang mustahil di zaman sekarang. Seringkali, kita juga dipanggil untuk berperanserta dalam mewujudkan hal yang mustahil, lewat bantuan materi, tenaga, waktu dan terutama lewat doa. Mungkin ada yang pernah membaca kisah hidup Hee Ah Lee, seorang pianis kondang dari Korea yang dikaruniai empat jari, prestasinya ini tentu tidak lepas dari bantuan orang tua, para guru dan orang-orang di sekitarnya. Ada banyak cara untuk menjadi saluran berkat bagi orang lain agar mereka juga turut merasakan bahwa Tuhan beserta mereka, Immanuel. Ada pepatah China yang mengatakan “Tian bu shui jiao (=Tuhan tidak tidur).
Bunda Maria mendengar dan berkata “ya.” Inilah ketaatan. Rasul Paulus mengatakan dalam bacaan kedua bahwa dia mewartakan Yesus Kristus kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman. Artinya tidak hanya mendengar Kabar Gembira, tetapi mengatakan “ya” pada Kabar Gembira dengan menjadikannya sebagai bagian dari hidup sehari-hari.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia dan Konferensi Wali Gereja Indonesia setiap tahun mengeluarkan Pesan Natal bersama. “Dalam pesan Natal bersama kami tahun ini, kami hendak menggarisbawahi semangat Kedatangan Kristus tersebut dengan bersaksi dan beraksi, bukan hanya untuk perayaan Natal itu saja, tetapi hendaknya juga menjadi semangat hidup kita semua:
- Sederhana dan bersahaja: Yesus telah lahir di kandang hewan, bukan hanya karena “tidak ada tempat bagi mereka di rumah pengiapan” (Luk. 2:7), tetapi justru karena Dia yang “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:5-7).
- Rajin dan giat: seperti para gembala yang “cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria, Yusuf dan bayi itu” (Luk. 2:16).
- Tanpa membeda-bedakan secara eksklusif: sebagaimana kanak-kanak Yesus juga menerima para Majus dari Timur seperti adanya, apapun warna kulit mereka dan apapun yang menjadi persembahan mereka masing-masing (lih. Mat. 2:11).
- Tidak juga bersifat dan bersikap separatis, karena Yesus sendiri mengajarkan bahwa “barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu" (Luk. 9:50).
Saya akan menutup renungan ini dengan kutipan dari “Until He Comes” oleh Charles E. Miller, CM dan John A. Grindel, CM: “Kalau kita ingin agar Natal punya arti khusus bagi kita tahun ini, kita harus mencoba melalui perayaan Natal untuk menjadi semakin serupa Yesus. Adalah benar bahwa kita membutuhkan teman-teman yang sependapat dengan kita dan sangat penolong bagi kita; bahkan Yesus juga mempunyai teman-teman special. Dan perasaan kasih ini berawal di rumah, tetapi hanya berawal di sana. Kasih dan perhatian kita harus menyebar melampaui lingkaran kecil kebersamaan. Kita tidak bisa memperlakukan setiap orang dengan cara yang sama, tetapi kita tidak seharusnya dengan sengaja tidak memberikan kasih dan hormat kepada orang tertentu, apakah itu karena (warna kulitnya, agama dan kewarganegaraannya), atau hanya karena roh jahat. Dalam kenyataannya, jika kita ingin lebih serupa Kristus, “yang tidak diinginkan” dari dunia ini mendapat klaim khusus dalam diri kita.”
Guangzhou, 14 Desember 2011
Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible
P.S. Materi renungan ini untuk Komsel St. Theresia pada 14 Desember 2011