(Bacaan Mrk 11: 1-10, Yes 50: 4-7, Fil 2: 6-11, Mrk 14: 1-15:47)
Hari Minggu ini adalah hari Minggu Palma, yang menandai dimulainya Pekan Suci, yang meliputi Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, Minggu Paskah.
Lewat bacaan prosesi daun palem, kita mendengar bagaimana Yesus naik keledai memasuki kota Yerusalem, dielu-elukan sebagai Dia yang datang dalam nama Tuhan oleh orang-orang yang melambaikan ranting-ranting hijau dan menghamparkan pakaiannya di jalan. Keledai dalam budaya Timur adalah simbol binatang damai, seorang raja akan menunggang kuda bila akan memulai perang dan menunggang keledai bila datang dengan damai. Karenanya masuknya Yesus ke Yerusalem dengan menunggang keledai ini melambangkan kedatanganNya sebagai Raja Damai. Di beberapa tempat bahkan sampai sekarang, ada kebiasaan untuk menutupi jalan yang akan dilalui seseorang yang dianggap dihormati dengan kain atau karpet. Yesus juga mendapat perlakuan yang sama karena orang Yahudi berpikir bahwa Yesus akan memaklumkan diriNya sebagai Mesias tetapi Yesus menolak untuk dimaklumkan sebagai Mesias sebagaimana gambaran mereka tentang Mesias, yaitu sebagai Raja yang penuh kuasa, yang membebaskan mereka dari penindasan, kelaparan dan pemimpin yang tidak bertanggungjawab. Dalam bacaan tidak disebut pemakaian daun palem, tetapi dalam tradisi Yahudi, daun palem adalah lambang kemenangan. Sesudah Minggu Palma, daun palem disimpan dan dibakar tahun berikutnya untuk digunakan sebagai abu untuk Rabu Abu. Warna liturgi minggu ini adalah merah, warna darah, yang melambangkan kurban penebusan Kristus, yang digenapi dengan memasuki kota Yerusalem, untuk memenuhi kisah sengsara dan kebangkitanNya.
Yesus sudah mengetahui tentang penderitaan yang akan dialaminya di Yerusalem, sebagaimana dalam Mat 10: 33-34, tetapi karena ketaatanNya pada kehendak Bapa, maka Dia berangkat juga ke Yerusalem. Dalam bacaan pertama kita mendengar tentang ketaatan seorang hamba Tuhan, yang percaya bahwa Tuhanlah yang menolongnya dan tidak akan mendapat malu. Beranikah kita taat kepada kehendak Bapa sepenuhnya, yang tahu rancangan terbaik untuk hidup kita? Kalau kita melihat kejadian-kejadian yang dialami Yesus secara terpisah, kita mungkin tidak mengerti rencana Allah di balik kisah sengsaraNya, seperti halnya kita mungkin tidak mengerti ada begitu banyak penderitaan di dunia ini.
Ketaatan Yesus sampai mati di atas kayu salib berbuah karunia nama di atas segala nama sebagaimana yang kita dengar dalam bacaan kedua. Kekristenan selama seratus tahun terakhir berkisar 33 persen, artinya satu dari tiga orang di bumi adalah orang Kristen (entah Katolik, Protestan, Orthodox), sedangkan pada tahun 2010, jumlah orang Katolik berkisar 17.5 persen dari populasi dunia, yaitu sebesar 1.196 bilyar.
Dalam Injil Markus kita mendengar tentang rencana pembunuhan Yesus, pengurapan Yesus, pengkhianatan Yudas, Perjamuan Paskah Yesus dengan murid-muridNya, penangkapan, pengadilan, kisah sengsara dan kematian Yesus. Alasan penyiksaan dan penyaliban Yesus oleh pemerintah Ramawi adalah seperti yang tertulis di salibNya, yaitu pengakuanNya sebagai Raja orang Yahudi, meskipun KerajaanNya bukan dari dunia ini.
Lewat Minggu Palma ini, kita diajak untuk menyadari bahwa hidup kita mengambil bagian dalam hidup Yesus, ada penderitaan-besar dan kecil-meskipun sangat mungkin, tidak sampai mati di kayu salib. Bahwa kita dipanggil tidak hanya untuk bersorak-sorak menyambut kedatangan Yesus seperti orang Yerusalem, tetapi juga untuk meringankan penderitaan sesama sehingga Kerajaan Allah datang di muka bumi; sebagaimana yang kita doakan dalam doa Bapa Kami, lewat panggilan perutusan kita masing-masing, lewat ketaatan kita kepada kehendak Bapa.
Untuk bisa taat, kita harus bersedia mengosongkan diri. Jean-Marie Howe dalam “Cistercian Monastic Life/Vows: A Vision,” p. 367, (7) mengatakan …Tidak cukup kalau hanya terbenam dalam…kehidupan. Kita harus membiarkan diri kita dibajak sehingga alur diri kita menjadi semakin dalam, sehingga bumi kita menjadi semakin lembut. Ini adalah saat dimana diri kita dipahat, saat membajak diri ini adalah pengosongan diri (kematian yang harus mendahului hidup yang baru, kelahiran kembali) dan pengosongan diri tidak mudah. Ketika kita menjadi terbuka, rahmat dapat tercurahkan…
Yesus memberi Hukum terutama, yang pertama, Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kalau kita akan naik pesawat atau kereta api yang sudah terjadwal, tentu kita berusaha untuk tidak terlambat kalau tidak ingin membeli tiket yang baru. Apakah kita juga tepat waktu dalam memenuhi kewajiban kita sebagai orang Katolik: menerima sakramen-sakramen Ekaristi dan Pengakuan Dosa, berpuasa dan berpantang, dll. Minggu ini adalah minggu terakhir kita bersama-sama dengan Gereja melakukan pertobatan, tentu pertobatan pribadi bisa dilakukan kapan saja sepanjang tahun.
Yesus juga memberi Hukum terutama, yang kedua, Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Paus Paulus VI mengatakan kalau kita menginginkan perdamaian, bekerjalah untuk keadilan. Bagaimana kita bertindak dengan adil terhadap orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita melihat orang lain yang berbeda agama, suku, ras, pekerjaan, dll? Bagaimana kita membawa damai ketika terjadi pertikaian dan perbedaan pendapat? St. Theresa Avila dalam Puri Batin mengajak kita untuk melihat kelemahan kita sendiri dan membiarkan orang lain dengan hidupnya sendiri: karena mereka yang hidup dengan teratur seringkali terkejut dengan segala sesuatu, dan kita belajar pelajaran penting dari orang yang mengejutkan kita. Beliau juga mengatakan Penampilan luar dan tindakan kita mungkin lebih baik dari mereka, tetapi ini, meskipun baik, bukanlah hal yang paling penting; tidaklah beralasan bila kita mengharapkan bahwa semua orang akan mengikuti jalan kita, dan kita harus berusaha untuk tidak mengarahkan mereka pada jalan rohani yang mungkin kita sendiri tidak tahu…Adalah lebih baik untuk…hidup dalam keheningan dan harapan dan Tuhan akan memperhatikan milikNya.
Bagaimana kita berusaha untuk menjadi pribadi yang semakin sesuai kehendak Allah, menjadi wajah Kristus di saat ini dan di sini? Ada yang mengatakan mungkin kita adalah satu-satunya wajah Kristus yang pernah dilihat oleh orang-orang tertentu, jadi jangan lewatkan kesempatan langka ini!
Guangzhou, 29 Maret 2012
Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible
P.S. Sebagian materi renungan ini merupakan terjemahan bebas dari http://en.wikipedia.org, http://www.liturgies.net/Lent/holyweek/RC/palmsundayyeara.htm dan Community Christian Bible dan dibawakan untuk Komsel St. Theresia Guangzhou pada 29 Maret 2012
Hari Minggu ini adalah hari Minggu Palma, yang menandai dimulainya Pekan Suci, yang meliputi Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, Minggu Paskah.
Lewat bacaan prosesi daun palem, kita mendengar bagaimana Yesus naik keledai memasuki kota Yerusalem, dielu-elukan sebagai Dia yang datang dalam nama Tuhan oleh orang-orang yang melambaikan ranting-ranting hijau dan menghamparkan pakaiannya di jalan. Keledai dalam budaya Timur adalah simbol binatang damai, seorang raja akan menunggang kuda bila akan memulai perang dan menunggang keledai bila datang dengan damai. Karenanya masuknya Yesus ke Yerusalem dengan menunggang keledai ini melambangkan kedatanganNya sebagai Raja Damai. Di beberapa tempat bahkan sampai sekarang, ada kebiasaan untuk menutupi jalan yang akan dilalui seseorang yang dianggap dihormati dengan kain atau karpet. Yesus juga mendapat perlakuan yang sama karena orang Yahudi berpikir bahwa Yesus akan memaklumkan diriNya sebagai Mesias tetapi Yesus menolak untuk dimaklumkan sebagai Mesias sebagaimana gambaran mereka tentang Mesias, yaitu sebagai Raja yang penuh kuasa, yang membebaskan mereka dari penindasan, kelaparan dan pemimpin yang tidak bertanggungjawab. Dalam bacaan tidak disebut pemakaian daun palem, tetapi dalam tradisi Yahudi, daun palem adalah lambang kemenangan. Sesudah Minggu Palma, daun palem disimpan dan dibakar tahun berikutnya untuk digunakan sebagai abu untuk Rabu Abu. Warna liturgi minggu ini adalah merah, warna darah, yang melambangkan kurban penebusan Kristus, yang digenapi dengan memasuki kota Yerusalem, untuk memenuhi kisah sengsara dan kebangkitanNya.
Yesus sudah mengetahui tentang penderitaan yang akan dialaminya di Yerusalem, sebagaimana dalam Mat 10: 33-34, tetapi karena ketaatanNya pada kehendak Bapa, maka Dia berangkat juga ke Yerusalem. Dalam bacaan pertama kita mendengar tentang ketaatan seorang hamba Tuhan, yang percaya bahwa Tuhanlah yang menolongnya dan tidak akan mendapat malu. Beranikah kita taat kepada kehendak Bapa sepenuhnya, yang tahu rancangan terbaik untuk hidup kita? Kalau kita melihat kejadian-kejadian yang dialami Yesus secara terpisah, kita mungkin tidak mengerti rencana Allah di balik kisah sengsaraNya, seperti halnya kita mungkin tidak mengerti ada begitu banyak penderitaan di dunia ini.
Ketaatan Yesus sampai mati di atas kayu salib berbuah karunia nama di atas segala nama sebagaimana yang kita dengar dalam bacaan kedua. Kekristenan selama seratus tahun terakhir berkisar 33 persen, artinya satu dari tiga orang di bumi adalah orang Kristen (entah Katolik, Protestan, Orthodox), sedangkan pada tahun 2010, jumlah orang Katolik berkisar 17.5 persen dari populasi dunia, yaitu sebesar 1.196 bilyar.
Dalam Injil Markus kita mendengar tentang rencana pembunuhan Yesus, pengurapan Yesus, pengkhianatan Yudas, Perjamuan Paskah Yesus dengan murid-muridNya, penangkapan, pengadilan, kisah sengsara dan kematian Yesus. Alasan penyiksaan dan penyaliban Yesus oleh pemerintah Ramawi adalah seperti yang tertulis di salibNya, yaitu pengakuanNya sebagai Raja orang Yahudi, meskipun KerajaanNya bukan dari dunia ini.
Lewat Minggu Palma ini, kita diajak untuk menyadari bahwa hidup kita mengambil bagian dalam hidup Yesus, ada penderitaan-besar dan kecil-meskipun sangat mungkin, tidak sampai mati di kayu salib. Bahwa kita dipanggil tidak hanya untuk bersorak-sorak menyambut kedatangan Yesus seperti orang Yerusalem, tetapi juga untuk meringankan penderitaan sesama sehingga Kerajaan Allah datang di muka bumi; sebagaimana yang kita doakan dalam doa Bapa Kami, lewat panggilan perutusan kita masing-masing, lewat ketaatan kita kepada kehendak Bapa.
Untuk bisa taat, kita harus bersedia mengosongkan diri. Jean-Marie Howe dalam “Cistercian Monastic Life/Vows: A Vision,” p. 367, (7) mengatakan …Tidak cukup kalau hanya terbenam dalam…kehidupan. Kita harus membiarkan diri kita dibajak sehingga alur diri kita menjadi semakin dalam, sehingga bumi kita menjadi semakin lembut. Ini adalah saat dimana diri kita dipahat, saat membajak diri ini adalah pengosongan diri (kematian yang harus mendahului hidup yang baru, kelahiran kembali) dan pengosongan diri tidak mudah. Ketika kita menjadi terbuka, rahmat dapat tercurahkan…
Yesus memberi Hukum terutama, yang pertama, Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kalau kita akan naik pesawat atau kereta api yang sudah terjadwal, tentu kita berusaha untuk tidak terlambat kalau tidak ingin membeli tiket yang baru. Apakah kita juga tepat waktu dalam memenuhi kewajiban kita sebagai orang Katolik: menerima sakramen-sakramen Ekaristi dan Pengakuan Dosa, berpuasa dan berpantang, dll. Minggu ini adalah minggu terakhir kita bersama-sama dengan Gereja melakukan pertobatan, tentu pertobatan pribadi bisa dilakukan kapan saja sepanjang tahun.
Yesus juga memberi Hukum terutama, yang kedua, Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Paus Paulus VI mengatakan kalau kita menginginkan perdamaian, bekerjalah untuk keadilan. Bagaimana kita bertindak dengan adil terhadap orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita melihat orang lain yang berbeda agama, suku, ras, pekerjaan, dll? Bagaimana kita membawa damai ketika terjadi pertikaian dan perbedaan pendapat? St. Theresa Avila dalam Puri Batin mengajak kita untuk melihat kelemahan kita sendiri dan membiarkan orang lain dengan hidupnya sendiri: karena mereka yang hidup dengan teratur seringkali terkejut dengan segala sesuatu, dan kita belajar pelajaran penting dari orang yang mengejutkan kita. Beliau juga mengatakan Penampilan luar dan tindakan kita mungkin lebih baik dari mereka, tetapi ini, meskipun baik, bukanlah hal yang paling penting; tidaklah beralasan bila kita mengharapkan bahwa semua orang akan mengikuti jalan kita, dan kita harus berusaha untuk tidak mengarahkan mereka pada jalan rohani yang mungkin kita sendiri tidak tahu…Adalah lebih baik untuk…hidup dalam keheningan dan harapan dan Tuhan akan memperhatikan milikNya.
Bagaimana kita berusaha untuk menjadi pribadi yang semakin sesuai kehendak Allah, menjadi wajah Kristus di saat ini dan di sini? Ada yang mengatakan mungkin kita adalah satu-satunya wajah Kristus yang pernah dilihat oleh orang-orang tertentu, jadi jangan lewatkan kesempatan langka ini!
Guangzhou, 29 Maret 2012
Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible
P.S. Sebagian materi renungan ini merupakan terjemahan bebas dari http://en.wikipedia.org, http://www.liturgies.net/Lent/holyweek/RC/palmsundayyeara.htm dan Community Christian Bible dan dibawakan untuk Komsel St. Theresia Guangzhou pada 29 Maret 2012