Shalom!
Tema renungan malam ini
adalah Ya dan Amin dalam hubungannya dengan Bunda Maria karena bulan ini adalah
bulan Maria.
Saya mau mengawali
renungan ini, dengan judul lukisan Dante Gabriel Rosseti dalam bahasa Latin Ecce Ancilla Domini, yang dilukis pada tahun 1849-1850, yang
tergantung di Tate Britain- London. Ecce Ancilla Domini secara tradisional
merupakan jawaban Bunda Maria kepada Malaikat Gabriel pada waktu memberitahukan
tentang kelahiran Yesus, seperti yang ada dalam Luk 1: 38: ''Sesungguhnya
aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.''
Sr. Claudette LaVerdierre, MM dalam bukunya “On the
Threshold of the Future: The Life and Spirituality of Mother Mary Joseph
Rogers, Founder of the Maryknoll Sisters (=Di Ambang Masa Depan: Hidup dan
Spiritualitas Mother Mary Joseph Rogers, Pendiri Maryknoll Sisters)” menulis “
Seperti Bunda Maria, ketika kita, laki-laki dan perempuan, mengatakan ya pada
hidup, ya pada memberikan diri kita sebagai berkat bagi orang lain, kita juga
dinaungi oleh Roh Kudus dan kasih kita menyebar, seperti Bunda Maria. Sabda Allah menjadi daging dalam hidup kita
seperti dalam hidup Bunda Maria, dan kasih tercurah kepada semua orang yang
kita jumpai. Sadar sepenuhnya akan
ketidakmampuannya untuk melakukan apa yang Tuhan kehendaki dan percaya bahwa
bagi Alah tidak ada yang mustahil, Bunda Maria bersedia sepenuhnya walaupun dia
tidak dapat membayangkan konsekuensi-konsekuensi dari “Ya”. Bagi Bunda Maria, sebagaimana untuk semua
umat Kristiani, ya di awal-dan setiap ya-hanyalah awal dari jalan menuju
pemuridan Kristiani.”
Salah satu konsekuensi dari “Ya” bagi Bunda Maria adalah
menyimpan segala perkara dalam hati dan merenungkannya ketika orang lain heran
tentang apa yang dikatakan para gembala tentang bayi Yesus sebagaimana dalam
Luk 2: 17-19: “Dan ketika mereka
melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang
Anak itu. Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan
gembala-gembala itu kepada mereka. Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di
dalam hatinya dan merenungkannya” atau ketika orang lain tidak mengerti apa
yang dikatakan Yesus bahwa Dia harus berada di rumah BapaNya sebagaimana dalam
Luk 2: 49-51b: “Jawab-Nya kepada mereka: ''Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah
kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?'' Tetapi mereka tidak mengerti apa yang
dikatakan-Nya kepada mereka. Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan
Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di
dalam hatinya.” Bagi kita sekalian,
menyimpan segala perkara dalam hati bukanlah perkara mudah, berapa sering kita
mengeluh bila rencana yang sudah disusun dengan matang tidak berjalan sesuai
dengan apa yang kita harapkan, ketika teman dan keluarga tidak sebaik yang kita
harapkan, ketika ujian tidak semudah yang kita harapkan, ketika makanan tidak
seenak yang kita harapkan, dan masih sederet daftar yang bisa kita buat. Pernahkah kita berusaha menyimpan segala
perkara dalam hati dan mendoakannya?
Bila tidak bisa berdoa dengan kata-kata yang panjang, bisa dengan
mengatakan “Tuhan aku sedang mengalami….berilah aku rahmat untuk….”
Konsekuensi lain dari “Ya” bagi Bunda Maria adalah “Ya”
sampai sakit, yaitu ketika menyertai Yesus mulai dari perjalanan memanggul
salib sampai wafat di bukit Golgota. Ada
yang masih ingat bagaimana gelisahnya mama kalau kita sakit bahkan mungkin
beliau ingin menggantikan sakit kita? Ibu
mana yang tidak merasakan ikut sakit kalau anakNya didera dan disiksa seperti
Yesus? Tentu Bunda Maria juga tidak
penah menduga bahwa “Ya” yang diucapkanNya hampir tiga puluh empat tahun
sebelumnya akan mendatangkan kesakitan sedalam itu. Itu juga konsekuensi dari “Ya” kita terhadap
kehendak Allah, seringkali “Ya” itu mendatangkan kesakitan terutama ketika
harus melepaskan ego kita dan mengikuti kehendak Tuhan. Siapa yang tidak merasa sakit kalau diminta
mengalah atau untuk melakukan sesuatu tidak seperti yang dikehendakinya? Misalnya orang tua melarang terlalu banyak
main games karena nilai pelajaran mulai merosot, setamat kuliah diminta pulang
ke Indonesia membantu orang tua padahal ingin mencari pengalaman di Guangzhou,
orang tua minta bersekolah di sekolah A karena biayanya terjangkau, tapi
teman-teman bersekolah di sekolah B yang biayanya lebih mahal.
Bagi Mother Mary Joseph, sebagaimana ditulis dalam buku
di atas, mendengarkan dan melakukan kehendak Allah mengandung pokok dari
ketaatan, yang berlaku untuk semua orang, apapun status hidupnya: sebagai imam,
biarawan/biarawati, maupun sebagai awam termasuk sebagai kaum muda Katolik di
Guangzhou. Tiap orang dipanggil untuk
hidup sejalan dengan kehendak Allah, yaitu dengan pertolongan Tuhan, memilih
untuk melakukan hal yang paling bernilai kasih dalam segala situasi. Dalam prakteknya, ini berarti melupakan diri
sendiri dalam pelayanan kepada orang lain, atau dengan kata lain, melakukan hal
yang benar untuk kebaikan bersama.
Kata
“Amin”, artinya “dengan sesungguhnya”, sebuah pernyataan penegasan, yang dapat
ditemukan dalam Kitab Suci Ibrani/Yahudi dan Perjanjian Baru. Kata “Amin” secara umum digunakan dalam
liturgi Kristiani sebagai kata penutup dari doa dan nyanyian pujian.
Dengan
mengatakan “Ya dan Amin,” kita mau mengatakan dengan penuh ketegasan akan
kemauan kita melakukan kehendak Allah, apapun konsekuensinya. Tentu sangat tidak mudah di dunia yang
dilanda oleh ke-aku-an yang semakin meningkat.
Sebagai
kaum muda Katolik di Guangzhou, apa yang perlu di Ya dan Amin-i? Pertama dan
terutama tentunya menjadi pribadi seperti yang Allah inginkan, sebagai pelajar
atau karyawan, sebagai anak, sebagai pacar atau suami atau istri seseorang dan tentunya
sebagai warga Gereja. Belajar serajin
mungkin atau bekerja sebaik mungkin tentu sudah menjadi pengetahuan umum, tapi
bagaimana melaksanakannya dalam hidup sehari-hari, bagaimana memilih untuk
melakukan hal yang paling bernilai kasih dalam segala situasi sebagaimana sudah
disebut di atas? Ketika punya kesempatan
mengambil keuntungan pribadi dari pembelian dari perusahaan, dilakukan atau
tidak? Ketika punya kesempatan menyontek, menyontek atau tidak? Ketika punya kesempatan untuk marah, bisakah
kita menahan marah? Ketika ada yang meminjam
buku atau handphone, diberi atau tidak? Ketika belum punya pacar, bisakah kita
tetap mengisi malam minggu dengan hal-hal yang bermanfaat? Ketika duduk di
sebelah orang yang tidak tahu cara mengikuti Misa Mandarin atau Inggris,
bisakah kita membantunya? Ketika kita
melihat orang yang berbeda dengan kita, bisakah kita tetap menerimanya
sebagaimana dia adanya, termasuk yang cerewet, yang pemarah, yang pemalu? Dan ketika kita merasa diberkati oleh Allah,
bisakah kita membagikan berkat itu kepada orang lain? Ini adalah contoh-contoh sederhana yang
mungkin bisa dilakukan dalam hidup sehari-hari sebagai latihan untuk “Ya dan
Amin” yang lebih besar. Tentu masih
banyak lagi contoh yang bisa diambil. Dalam
suratnya kepada umat di Roma, Rasul Paulus mengatakan:
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh
pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah; apa yang
baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”
(Rm 12:2).
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah
bagaimana membedakan mana kehendak Allah dan mana kehendak sendiri? Sekarang ini mungkin tidak ada orang yang
didatangi malaikat seperti Bunda Maria sehingga mendapat pesan dari Allah, yang
demikian jelas. Ada beberapa orang yang
mungkin mendapat wahyu pribadi dari Allah, yang tentunya harus diuji
kebenarannya. Bagi kebanyakan orang, mungkin
tidak mudah mengetahui mana yang merupakan kehendak Allah dan mana yang
merupakan kehendak sendiri, terutama bila pilihannya bukan antara baik dan
buruk, tetapi antara baik dan baik.
Untuk masalah-masalah yang besar, misalnya pilihan hidup menikah atau
hidup selibat, tentu dua-duanya baik, biasanya dilakukan dengan mengikuti
retret pribadi. Karena beberapa dari
kalian mungkin akan menikah dalam waktu dekat, saya menganjurkan agar di
samping mengikuti kursus persiapan perkawinan dan mempersiapkan segala detail
perkawinan, juga menyempatkan diri untuk mengikuti retret pribadi. Sedangkan untuk masalah-masalah yang lebih
sederhana, misalnya memilih peluang kerja di perusahaan A atau perusahaan B, konsentrasi
menyelesaikan kuliah atau menerima tawaran kerja, melanjutkan kuliah atau
membantu orang tua di Indonesia, bisa dilakukan dengan mencari informasi
sebanyak mungkin, mendaftar semua konsekuensinya dan membawanya dalam doa
sebelum mengambil keputusan. Pengalaman
saya, Tuhan seringkali menjawab pada saat-saat terakhir keputusan harus dibuat. Jadi bersabarlah karena untuk segala sesuatu
ada waktunya sebagaimana dalam Pengkotbah 3: 1-15:
Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di
bawah langit ada waktunya.
Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal,
ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut
yang ditanam;
ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan;
ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;
ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa;
ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;
ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk
mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari
memeluk;
ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk
membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit;
ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk
membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.
Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya
dengan berjerih payah?
Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah
kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya,
bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat
menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik
dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.
Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan
menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian
Allah.
Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah
akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi;
Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia.
Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan
ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu.
Karena
hari Minggu adalah hari Pentakosta, maka saya akan menutup renungan ini dengan doa yang saya
modifikasi dari doa Fr. Benedict Groeschel, CFR, seorang imam yang mengalami
luka di kepala, patah tulang, lebih dari satu jam tanpa tekanan darah dan sekitar
20 menit tanpa detak jantung setelah kecelakaan di Florida-USA http://en.wikipedia.org/wiki/Benedict_Groeschel:
Roh Kudus, datang
dan hadirlah bersama kami. Bimbing dan
terangilah kami dalam hidup kami sehari-hari.
Tolonglah setiap dari kami dalam perjalanan kami menuju Allah supaya
kami, siapapun kami dan apapun talenta dan masalah yang kami miliki, dapat menjadi
lebih loyal dan nyata sebagai murid dari Tuhan kami Yesus Kristus. Tolonglah kami setiap hari untuk melakukan
hal yang paling bernilai kasih dalam segala situasi, dibimbing olehMu, sebagai
upaya untuk mencintai sesama, mengampuni musuh kami, dan khususnya untuk lebih
serupa Kristus dalam hidup kami sendiri.
Tolonglah kami untuk mengikuti teladan Bunda Maria, murid pertama PutraMu
Yesus, agar kami dapat selalu mengatakan “Ya dan Amin” terhadap
kehendakMu. Semuanya ini kami mohon dengan
pengantaraan Kristus, Tuhan kami. Amin.
Guangzhou,
25 Mei 2012
Sr.
Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s
do simple things with simple love to make God’s love visible
P.S. Renungan ini dibawakan untuk PDKK Hati Kudus Yesus Guangzhou pada 25 Mei 2012, sebagian adalah terjemahan bebas dari komentar Christian Community Bible-Catholic Pastoral Edition, http://en.wikipedia.org/wiki/Amen#Amen_in_Christianity, http://wiki.answers.com/Q/What_does_the_phrase_Ecce_Ancilla_Domini_mean,
No comments:
Post a Comment