Dalam rangka ulang tahun ke-25 Diocesan Pastoral Center for Filipino (and other Asian Migrants and Ethnic Minorities), diadakan Ekaristi Syukur dengan tema “As we gather to give thanks, and with courage we continue our journey…” pada tanggal 8 Januari 2011 bertempat di Kapel Biara St. Paul Hong Kong. Perayaan Ekaristi, yang dihadiri lebih dari 600 buruh migran dari Filipina dan Indonesia ini, dipimpin oleh Rm. Edward Khong didampingi oleh delapan konselebran termasuk Rm. Johannes Indarta, SVD, serta dua orang imam tamu Rm. Hariawan Adji, O.Carm dan Rm. Alexander Agung, O.Carm. Perayaan Ekaristi diadakan dalam bahasa Inggris, Tagalog dan Indonesia serta lagu-lagu berbahasa latin oleh kelompok koor Indonesia. Acara dilanjutkan dengan penampilan tari dan lagu beberapa kelompok buruh migran Filipina dan buruh migran Indonesia termasuk tari Jaipong. Sr. Felicitas Nisperos, RGS selaku direktur Pusat Pastoral untuk Migran mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam acara ini.
Sekitar dua minggu sebelumnya, diadakan misa Natal berbahasa Indonesia di Kapel Biara St. Paul, yang diikuti oleh sekitar 500 umat. Tema Natal kali ini adalah “Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya” sebagai ucapan syukur atas penyertaan Tuhan dalam kehidupan para buruh migran di Hong Kong. Pada perayaan agung ini, Rm. Johannes Indarta, SVD dibantu oleh Rm. Reginaldus Amleni, SVD menerimakan Sakramen Baptis kepada lima orang calon baptis. Acara kemudian dilanjutkan dengan ramah-tamah dan hiburan persembahan kreatif dari umat.
Di samping itu juga diadakan Natal Oikumene yang bertema “Kesukaan besar….”di Gereja ICA North Point. Lebih dari 1000 jemaat dari 14 Gereja Indonesia di Hong Kong bergembira bersama Pangeran Siagian, yang secara khusus diundang oleh Panitia Natal untuk membawakan pujian Natal. Pada kesempatan yang indah ini, Konsulat Jendral Indonesia, Bapak Teguh Wardoyo , S.H. turut hadir dan memberikan kata sambutan. Acara juga dimeriahkan oleh dua lagu Natal persembahan dari kelompok koor Gereja Katolik. Perayaan yang berlangsung selama tiga jam ini ditutup dengan berkat dari para gembala gereja.
Ketiga kegiatan di atas adalah bagian dari karya pelayanan Gereja kepada para buruh migran, yang bermula di tahun 1987, dimana Bapa Uskup Hong Kong John Baptis Wu meresmikan satu ruangan di gedung Catholic Centre sebagai tempat pelayanan bagi para buruh migran Filipina. Kemudian dibentuk sebuah komisi pelayanan untuk para buruh migran di tingkat Keuskupan, yang terdiri dari Bapa Uskup atau wakilnya, para biarawati, imam dan awam. Pada bulan Maret 2006, Keuskupan Hong Kong mulai melayani buruh migran Indonesia dan saat ini dilayani oleh Rm. Johannes Indarta, SVD dan Sr. Flora Nirmala, RGS. Jumlah buruh migran Indonesia saat ini ada sekitar 140 ribu orang, yang semuanya wanita dan bekerja dengan gaji sebesar HKD. 3,740.00/per bulan dengan kontrak selama dua tahun untuk membersihkan rumah, menjaga anak, atau merawat anggota keluarga majikan mereka yang sakit. Para buruh migran ini berasal dari berbagai tempat di Indonesia melalui agen tenaga kerja, yang akan memotong gaji mereka sebesar HKD 21,000 selama tujuh bulan pertama kontrak. Pada kenyataannya, ada begitu banyak penyimpangan, seperti gaji yang di bawah standar, tidak ada libur satu hari/minggu, bekerja pada hari libur tanpa uang lembur, penyiksaan secara fisik maupun secara mental oleh majikan, kekerasan seksual, dll.
Pusat Pastoral untuk Migran ini melayani semua kaum buruh migran yang mendapat permasalahan, mulai dari masalah kesehatan sampai masalah keimigrasian, yang dilakukan dengan memberikan pembinaan, pendampingan dan pendidikan. Saat ini, Pusat Pastoral untuk Migran memiliki tenaga tetap beberapa orang awam Filipina, tiga biarawati RGS, dan tiga imam SVD di samping para sukarelawan. Mereka juga menyediakan dua rumah penampungan masing-masing berkapasitas 30 orang, di samping bekerjasama dengan pekerja sosial dari lembaga sosial tingkat Keuskupan Caritas. Secara rutin di rumah penampungan diadakan pembinaan kerohanian yang bersifat umum (menjangkau semua keyakinan), group sharing, rekreasi bersama, seminar tentang berbagai aspek kehidupan dan hukum, kursus bahasa dan pelatihan keterampilan, seperti menjahit dan memasak.
Selama ini Konsulat Jendral RI menawarkan tempat untuk beribadah, yang bisa menampung 70 orang. Umat Indonesia pada awal tahun 2006 sekitar 50-60 orang, tetapi terus bertumbuh. Mengingat terbatasnya personel dan sarana (tempat dan peralatan gereja), para suster dari Serikat Gembala Baik dan para imam dari Serikat Sabda Allah mencoba mendampingi umat dengan bekerja sama dengan paroki, organisasi sosial, dan sekolah Katolik. Atas kebaikan para Suster FSP (Daughters of St. Paul) dan dukungan dari keuskupan Hong Kong, umat Katolik Indonesia diijinkan memakai kapel besar yang bisa menampung 800 orang beserta fasilitasnya, yang berada di kompleks sekolah St. Paul di kawasan Causeway Bay (di depan Konsulat Jendral RI). Selain itu, untuk semua akitivitas gerejani, mereka juga dapat memakai lapangan dan ruang terbuka sekolah yang beratap dan dilengkapi dengan meja dan kursi. Saat ini untuk misa hari Minggu, diikuti oleh lebih dari 200 orang umat, sedangkan untuk misa Natal/Paskah sekitar 600 orang. Banyak di antara mereka yang tidak dapat mengikuti Misa setiap minggu, karena tidak dapat hari libur atau karena tempat tinggal yang jauh dari lokasi gereja sehingga membutuhkan biaya yang banyak untuk menjangkaunya.
Meskipun tidak memiliki sarana sendiri dan juga waktu libur yang hanya satu hari seminggu, kegiatan komunitas ini tidak ubahnya seperti kegiatan yang dilakukan oleh umat di paroki dengan biaya bersumber dari umat.
Pendampingan yang dilakukan oleh para imam dan biarawati berlandaskan empat nilai utama, yaitu: nilai kerohanian, nilai pembentukan kepribadian, nilai pembinaan berorganisasi dan nilai cara hidup bermasyarakat / hidup sosial. Berikut ini adalah kegiatan yang berakar dari ke empat nilai tersebut: pembentukan kepengurusan dari dan untuk umat, Misa, persekutuan doa, rekoleksi, koor, tari, drama, Katakese bagi mereka yang ingin menerima Sakramen Pembaptisan, kursus bahasa Cantonese, keterampilan tangan, seminar – seminar berdasarkan kebutuhan umat, konseling dengan waktu dan tempat yang fleksibel mengingat umat tidak memiliki kesempatan untuk menelepon selain jam istirahat atau malam hari, media (Warta Katolik, Website, Katalog Keuskupan, artikel di majalah), rekreasi bersama yang diadakan dua kali dalam setahun pada hari libur selain hari minggu, kegiatan Oikumene termasuk perayaan Natal/Paskah bersama, lomba volley antar Gereja dan warta Oikumene.
Kerjasama dengan ‘Gereja pengirim’ dari Indonesia sudah berjalan dengan baik, misalnya salah satu pasangan belajar kursus pernikahan di Keuskupan Hong Kong, kemudian bisa diteruskan di Keuskupan di Indonesia. Selain itu melalui Pastor Paroki di Indonesia, umat yang dibaptis di Keuskupan Hong Kong bisa meminta dengan mudah kapan saja pembaharuan surat Pembaptisannya, karena semua urusan administrasi sudah dipusatkan di Paroki St. Joseph Hong Kong, sebagai paroki para buruh migran.
Banyak persoalan yang dialami para buruh migran bersumber pada masalah keluarga. Keluhan umum yang sering terdengar adalah: suami menyeleweng, anak-anak terlantar, sekolah anak terbengkalai, uang yang dikirim dipakai untuk berfoya-foya oleh suami. Persoalan-persoalan semacam ini membuat seorang buruh migran tidak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaan dan akhirnya mempengaruhi kualitas pekerjaannya. Kesalahan dalam pekerjaan dan kondisi psikologis (gelisah, murung, marah) yang dialami bisa berakibat pada pemecatan atau bahkan bunuh diri.
Menurut Rm. Indarta, terbatasnya tenaga imam dan biarawati, yang bisa mendampingi para buruh migran menjadi salah satu kendala pelayanan kepada para buruh migran ini, di samping terbatasnya tempat untuk melakukan aktivitas rohani. Karenanya beliau mengharapkan agar ‘Gereja penerima’ dengan ‘Gereja pengirim’ dari Indonesia bisa bekerjasama dengan lebih baik, sehingga para buruh migran yang sudah dibantu penyelesaian masalahnya di Hong Kong, dapat dibantu sewaktu tiba di Indonesia.
Hong Kong, January 12, 2011
Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible
Sekitar dua minggu sebelumnya, diadakan misa Natal berbahasa Indonesia di Kapel Biara St. Paul, yang diikuti oleh sekitar 500 umat. Tema Natal kali ini adalah “Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya” sebagai ucapan syukur atas penyertaan Tuhan dalam kehidupan para buruh migran di Hong Kong. Pada perayaan agung ini, Rm. Johannes Indarta, SVD dibantu oleh Rm. Reginaldus Amleni, SVD menerimakan Sakramen Baptis kepada lima orang calon baptis. Acara kemudian dilanjutkan dengan ramah-tamah dan hiburan persembahan kreatif dari umat.
Di samping itu juga diadakan Natal Oikumene yang bertema “Kesukaan besar….”di Gereja ICA North Point. Lebih dari 1000 jemaat dari 14 Gereja Indonesia di Hong Kong bergembira bersama Pangeran Siagian, yang secara khusus diundang oleh Panitia Natal untuk membawakan pujian Natal. Pada kesempatan yang indah ini, Konsulat Jendral Indonesia, Bapak Teguh Wardoyo , S.H. turut hadir dan memberikan kata sambutan. Acara juga dimeriahkan oleh dua lagu Natal persembahan dari kelompok koor Gereja Katolik. Perayaan yang berlangsung selama tiga jam ini ditutup dengan berkat dari para gembala gereja.
Ketiga kegiatan di atas adalah bagian dari karya pelayanan Gereja kepada para buruh migran, yang bermula di tahun 1987, dimana Bapa Uskup Hong Kong John Baptis Wu meresmikan satu ruangan di gedung Catholic Centre sebagai tempat pelayanan bagi para buruh migran Filipina. Kemudian dibentuk sebuah komisi pelayanan untuk para buruh migran di tingkat Keuskupan, yang terdiri dari Bapa Uskup atau wakilnya, para biarawati, imam dan awam. Pada bulan Maret 2006, Keuskupan Hong Kong mulai melayani buruh migran Indonesia dan saat ini dilayani oleh Rm. Johannes Indarta, SVD dan Sr. Flora Nirmala, RGS. Jumlah buruh migran Indonesia saat ini ada sekitar 140 ribu orang, yang semuanya wanita dan bekerja dengan gaji sebesar HKD. 3,740.00/per bulan dengan kontrak selama dua tahun untuk membersihkan rumah, menjaga anak, atau merawat anggota keluarga majikan mereka yang sakit. Para buruh migran ini berasal dari berbagai tempat di Indonesia melalui agen tenaga kerja, yang akan memotong gaji mereka sebesar HKD 21,000 selama tujuh bulan pertama kontrak. Pada kenyataannya, ada begitu banyak penyimpangan, seperti gaji yang di bawah standar, tidak ada libur satu hari/minggu, bekerja pada hari libur tanpa uang lembur, penyiksaan secara fisik maupun secara mental oleh majikan, kekerasan seksual, dll.
Pusat Pastoral untuk Migran ini melayani semua kaum buruh migran yang mendapat permasalahan, mulai dari masalah kesehatan sampai masalah keimigrasian, yang dilakukan dengan memberikan pembinaan, pendampingan dan pendidikan. Saat ini, Pusat Pastoral untuk Migran memiliki tenaga tetap beberapa orang awam Filipina, tiga biarawati RGS, dan tiga imam SVD di samping para sukarelawan. Mereka juga menyediakan dua rumah penampungan masing-masing berkapasitas 30 orang, di samping bekerjasama dengan pekerja sosial dari lembaga sosial tingkat Keuskupan Caritas. Secara rutin di rumah penampungan diadakan pembinaan kerohanian yang bersifat umum (menjangkau semua keyakinan), group sharing, rekreasi bersama, seminar tentang berbagai aspek kehidupan dan hukum, kursus bahasa dan pelatihan keterampilan, seperti menjahit dan memasak.
Selama ini Konsulat Jendral RI menawarkan tempat untuk beribadah, yang bisa menampung 70 orang. Umat Indonesia pada awal tahun 2006 sekitar 50-60 orang, tetapi terus bertumbuh. Mengingat terbatasnya personel dan sarana (tempat dan peralatan gereja), para suster dari Serikat Gembala Baik dan para imam dari Serikat Sabda Allah mencoba mendampingi umat dengan bekerja sama dengan paroki, organisasi sosial, dan sekolah Katolik. Atas kebaikan para Suster FSP (Daughters of St. Paul) dan dukungan dari keuskupan Hong Kong, umat Katolik Indonesia diijinkan memakai kapel besar yang bisa menampung 800 orang beserta fasilitasnya, yang berada di kompleks sekolah St. Paul di kawasan Causeway Bay (di depan Konsulat Jendral RI). Selain itu, untuk semua akitivitas gerejani, mereka juga dapat memakai lapangan dan ruang terbuka sekolah yang beratap dan dilengkapi dengan meja dan kursi. Saat ini untuk misa hari Minggu, diikuti oleh lebih dari 200 orang umat, sedangkan untuk misa Natal/Paskah sekitar 600 orang. Banyak di antara mereka yang tidak dapat mengikuti Misa setiap minggu, karena tidak dapat hari libur atau karena tempat tinggal yang jauh dari lokasi gereja sehingga membutuhkan biaya yang banyak untuk menjangkaunya.
Meskipun tidak memiliki sarana sendiri dan juga waktu libur yang hanya satu hari seminggu, kegiatan komunitas ini tidak ubahnya seperti kegiatan yang dilakukan oleh umat di paroki dengan biaya bersumber dari umat.
Pendampingan yang dilakukan oleh para imam dan biarawati berlandaskan empat nilai utama, yaitu: nilai kerohanian, nilai pembentukan kepribadian, nilai pembinaan berorganisasi dan nilai cara hidup bermasyarakat / hidup sosial. Berikut ini adalah kegiatan yang berakar dari ke empat nilai tersebut: pembentukan kepengurusan dari dan untuk umat, Misa, persekutuan doa, rekoleksi, koor, tari, drama, Katakese bagi mereka yang ingin menerima Sakramen Pembaptisan, kursus bahasa Cantonese, keterampilan tangan, seminar – seminar berdasarkan kebutuhan umat, konseling dengan waktu dan tempat yang fleksibel mengingat umat tidak memiliki kesempatan untuk menelepon selain jam istirahat atau malam hari, media (Warta Katolik, Website, Katalog Keuskupan, artikel di majalah), rekreasi bersama yang diadakan dua kali dalam setahun pada hari libur selain hari minggu, kegiatan Oikumene termasuk perayaan Natal/Paskah bersama, lomba volley antar Gereja dan warta Oikumene.
Kerjasama dengan ‘Gereja pengirim’ dari Indonesia sudah berjalan dengan baik, misalnya salah satu pasangan belajar kursus pernikahan di Keuskupan Hong Kong, kemudian bisa diteruskan di Keuskupan di Indonesia. Selain itu melalui Pastor Paroki di Indonesia, umat yang dibaptis di Keuskupan Hong Kong bisa meminta dengan mudah kapan saja pembaharuan surat Pembaptisannya, karena semua urusan administrasi sudah dipusatkan di Paroki St. Joseph Hong Kong, sebagai paroki para buruh migran.
Banyak persoalan yang dialami para buruh migran bersumber pada masalah keluarga. Keluhan umum yang sering terdengar adalah: suami menyeleweng, anak-anak terlantar, sekolah anak terbengkalai, uang yang dikirim dipakai untuk berfoya-foya oleh suami. Persoalan-persoalan semacam ini membuat seorang buruh migran tidak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaan dan akhirnya mempengaruhi kualitas pekerjaannya. Kesalahan dalam pekerjaan dan kondisi psikologis (gelisah, murung, marah) yang dialami bisa berakibat pada pemecatan atau bahkan bunuh diri.
Menurut Rm. Indarta, terbatasnya tenaga imam dan biarawati, yang bisa mendampingi para buruh migran menjadi salah satu kendala pelayanan kepada para buruh migran ini, di samping terbatasnya tempat untuk melakukan aktivitas rohani. Karenanya beliau mengharapkan agar ‘Gereja penerima’ dengan ‘Gereja pengirim’ dari Indonesia bisa bekerjasama dengan lebih baik, sehingga para buruh migran yang sudah dibantu penyelesaian masalahnya di Hong Kong, dapat dibantu sewaktu tiba di Indonesia.
Hong Kong, January 12, 2011
Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.
Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible
No comments:
Post a Comment