Siapakah Sebenarnya Pembunuhmu, Marsinah?
Persidangan para terdakwa pembunuh Marsinah telah dimulai beberapa bulan lalu, bahkan salah seorang terdakwa telah divonis tujuh bulan penjara karena mengetahui adanya rencana pembunuhan tersebut tetapi diam saja.
Beberapa hari menjelang vonis ini dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo, YLBHI mengumumkan temuan baru kasus pembunuhan Marsinah. Isi temuan itu menyatakan mungkin Marsinah mengalami penganiayaan berat karena kelancangannya memprotes pemecatan terhadap teman-temannya dan akhirnya terbunuh (Surya, 08/03/94). Temuan ini tentunya sangat mengejutkan karena bertentangan dengan isi BAP yang disusun oleh pihak Polda Jatim, meskipun menurut cak Sur, isunya sih sudah lama (Surya, 09/03/94).
Bila dirunut ke belakang, agaknya temuan YLBHI ini lebih bisa dipakai untuk menganalisa kejadian-kejadian yang muncul dalam pengungkapan kasus pembunuhan Marsinah ini.
“Peminjaman” para tersangka selama 19 hari untuk keperluan penyidikan, yang menurut Polda dalam surat bantahannya kepada Komnas HAM dimaksudkan untuk mengungkapkan dugaan adanya keterlibatan oknum Danramil Porong (Surya, 28/02/94), tentunya di luar kewajaran. Apalagi bila cerita tentang penyiksaan yang dialami pada tersangka dalam proses penyidikan benar.
Mengapa para tersangka sampai “nyasar” ke kamar mandi dan bahkan sampai diarahkan petugas ketika melakukan rekonstruksi pembunuhan Marsinah di rumah salah satu terdakwa?
Sikap majelis hakim yang begitu aktif menyudutkan para terdakwa tentunya mengesankan persidangan tidak “fair” apalagi bila mengingat setiap terdakwa berhak atas azas praduga tak bersalah sampai vonis diputuskan. Demikian juga ketidakhadiran dua pembantu bos PT CPT Porong di persidangan padahal mereka boleh dibilang termasuk saksi kunci.
Mengapa para saksi kunci-yang menjadi terdakwa dalam perkara lain-pada akhrnya melakukan pembelotan dengan mencabut BAP yang telah ditandatangani? Bahkan salah seorang saksi kunci yang semula selalu berkata “ya” pada akhirnya juga melakukan pembelotan dengan mengingkari BAP.
Kejadian-kejadian ini tentunya bukan tanpa sebab. Mungkinkah apa yang ditemukan YLBHI menjadi penyebab kematian Marsinah, yang kemudian melahirkan kejadian-kejadian di atas? Tentunya perlu pencarian fakta lagi, sehingga kata “mungkin” dalam temuan YLBHI tersebut dapat dipastikan benar tidaknya.
Dengan temuan yang lebih akurat serta pengadilan yang jujur, “fair” dan tidak “a priori” terhadap terdakwa, maka siapakah sebenarnya pembunuh Marsinah dapat diungkap. Bisa jadi para terdakwanya tetap tetapi bisa juga terdakwanya berubah, namun demikian kebenaran dan keadilanlah yang harus ditegakkan. Pada siapa kita boleh berharap?
Pengirim: A. B. Lindawati P. (Pengamat masalah sosial kemasyarakatan), dimuat di Harian Surya 23 Maret 1994
Mensikapi Kehadiran UU Unjuk Rasa
Seusai Rapat Koordinasi Khusus, Menko Polkam Soesilo Soedarman menyatakan bahwa sekarang ini Pemerintah sedang menggodok Rancangan Undang-undang Unjuk Rasa (Surya, 5 Mei 1994).
Beberapa hari sebelumnya, mantan Pangkokamtib Jendral (Pur) Soemitro menegaskan bahwa UU Unjuk Rasa tidak perlu dibuat karena justru akan terjebak dalam atributnya (Surya, 29 Maret 1994). Hal senada diungkapkan oleh Dr. Philipus Mandiri Hadjon SH MS, pakar Hukum Tata Negara Unair, dalam kesempatan yang sama.
Di negara maju, sudah ada peraturan yang mengatur tentang unjuk rasa sehingga unjuk rasa dapat berjalan dengan tertib (Surya, 6 Mei 1994).
Niat Baik Pemerintah
Maraknya aksi unjuk rasa di Indoensia akhir-akhir ini, baik yang dilakukann oleh para buruh, mahasiswa maupun pelajar bisa jadi menjadi latar belakang munculnya rencana menggodok RUU Unjuk Rasa. Apalagi bila melihat kenyataan, masih belum tertibnya unjuk rasa yang terjadi selama ini. Tidak jarang terjadi unjuk rasa berakhir dengan pengrusakan. Hal ini tentunya tidak diharapkan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Hukum diadakan tentunya dimaksudkan agar kehidupan bersama dapat berjalan dengan tertib, harmonis dan aman. Demikian juga dengan hadirnya UU Unjuk Rasa ini. Rencana pemerintah untuk menggodok RUU Unjuk Rasa tentu dalam rangka kerangka pemikiran seperti ini.
Dengan hadirnya UU Unjuk Rasa, maka dapat dikatakan bahwa pemerintan mengakui eksistensi unjuk rasa. Mengakuinya sebagai salah satu upaya menyalurkan aspirasi. Dan hal ini tentunya sejalan dengan apa yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 28 bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.
Tetapi di sini lain, bukan tidak mungkin pengakuan pemerintah akan eksistensi unjuk rasa-karena nyatanya tidak disebut UU Anti Unjuk Rasa-justru mempersulit upaya menyalurkan aspirasi. Dengan diundangkan, bukan tidak mungkin para pengunjuk rasa harus mengurus ini itu yang berbelit-belit. Dengan mudah dapat dikatakan bahwa unjuk rasa ini tidak boleh karena akan mengganggu ketetetiban umum. Bila ini yang terjadi, maka akan menjadi petaka tersendiri. Karena pengakuan akan eksistensi unjuk rasa justru dimaksudkan untuk mempersempit saluran aspirasi.
Sebagai masyarakat awan tentunya tidak mudah untuk mengetahui apa yang sebenarnya dimaui pemerintah dengan rencana menghadirkan UU Unjuk Rasa. Benar-benar melihat unjuk rasa sebagai salah satu upaya menyalurkan aspirasi sehingga perlu diatur dengan UU agar dapat berlangsung dengan tertib. Atau justu dengan dalih agar unjuk rasa dapat berlangsung dengan tertib, maka unjuk rasa diundangkan padahal sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi hak-hak rakyat sipil dalam menyalurkan aspirasnya. Tentunya kita berharap agar jawaban pertama yang menjadi kenyataan dan untuk ini dibutuhkan niat baik dari pemerintah.
Anggota Dewan Perwaakilan Rakyat tentunya juga dapat diharapkan peran sertanya agar UU Unjuk Rasa benar-benar dapat merupakan upaya untuk menyalurkan aspirasi tanpa harus dililit proses birokrasi yang berbelit-belit.
Penutup
Akhirnya, ada atau tidak adanya UU Unjuk Rasa di negara kita, tentunya setiap orang yang akan melakukan unjuk rasa harus tetap ingat bahwa haknya untuk menyalurkan aspirasi melalui unjuk rasa dibatasi oleh hak orang lain untuk hidup dengan tertib, tenteran dan aman.
Pengirim: A.B. Lindawati P (Pengamat masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Mojoagung)
Orpol Masuk Sekolah/Kampus
Dalam pertemuannya dengan kader Golkar di Semarang, Ketua DPP Golkar-Ny. Siti Hardijanti Rukmana-melihat isyarat perlunya Golkar masuk ke sekolah-sekolah. Dengan cara ini diharapkan program Golkar lebih dipahami oleh pelajar dan mahasiswa sehingga nantinya dapat masuk menjadi anggota Golkar dan menjadi kader yang militan (Surya, 21 April 1994).
Meski kemudian mbak Tutut-panggilan akrabnya-meralat pernyataannya itu dengan menyatakan bahwa Golkar tidak akan masuk ke SMA karena tidak diperkenankan melakukan kegiatan politik praktis di lembaga pendidikan (Surya, 29 April 1994), ternyata pernyataan ini sempat mengundang reaksi beberapa kalangan. Prof. Soehardjo SS SH, Guru besar FH Undip Semarang, menyatakan tidak sependapat dengan rencana Golkar masuk ke sekolah-sekolah karena akan menimbulkan reaksi dari kekuatan politik yang lain (Surya, 22 April 1994). Mantan Kassospol ABRI, Letjen TNI (Pur) Harsudiyono Hartas, menyatakan bahwa rencana ini harus lebih dulu dipikirkan secara matang supaya tidak terjadi manipulasi paham kebangsaan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu (Surya, 28 April 1994).
Mendikbud Dr. Wardiman Djojonegoro berpendapat karena dua pertiga generasi muda usia SMA ada di luar sekolah, maka mereka inilah yang sebaiknya dijaring oleh orsospol (Surya, 29 April 1994).
Politik Praktis untuk Pelajar/Mahasiswa
Para pelajar dan mahasiswa suatu saat nanti, diakui atau tidak, akan mejadi penerus bangsa ini. Dan karenanya mereka juga perlu mendapat pendidikan politik. Mereka ini, yang telah berumur 17 tahun ke atas, juga telah berpartisipasi dalam Pemilu. Dan tentunya mereka juga mempunyai persamaan dalam hukum dan pemerintahan seperti diatur dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1, seperti teman-teman sebaya mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk duduk di bangku SMA maupun pergurun tinggi.
Pendidikan politik yang selama ini diterima oleh sebagian besar pelajar dan mahasiswa boleh dikatakan sangat dangkal. Hanya terbatas apa yang tertulis pada buku pelajaran atau diktat kuliah. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus menerus, apalagi bila sampai menimbulkan phobi poliitk.
Salah satu cara yang bisa dilakukan agar pelajar dan mahasiswa tetap mendapat pendidikan politik lebih dari yang selama ini didapat tetapi tetap tidak memasukkan politik praktis ke lembaga pendidikan adalaha dengan seminar/ceramah/dialog dengan ketiga orsospol dengan porsi yang sama. Acara ini tentu saja tidak dikemas seperti kampanye-kampanye di lapangan terbuka yang biasa dilakukan menjelang Pemilu dengan disertai hiburan artis-artis terkenal serta teriakan-teriakan penuh janji dari para juru kampanye.
Kalau lembaga kemahasiswaan atau OSIS biasa mengadakan seminar-seminar atau dialog dengan tema mulai dari masalah-masalah remaja, penyakit, bisnis atau yang lainnya, mengapa tidak dicoba seminar dengan tema peranserta pelajar dan mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan pembicara wakil dari ketiga parpol?
Ketika penulis masih kuliah, pernah ada seorang Kepala Badan Pertanahan diundang ke kampus untuk mengisi jam kuliah Undang-undang Agraria. Dalam kesempatan lain, Bapak Dirjen Peternakan juga pernah diundang memberi kuliah. Mungkin cara ini juga dapat dilakukan.
Tentunya ketiga orsospol harus masuk ke sekolah atau kampus dalam konteks pendidikan politik, bukan dalam rangka merekrut anggota dan mengobral janji-janji Bila menang ada yang tertarik untuk menjadi anggota salah satu orsospol tentu tidak ada salahnya, tetapi tentunya bukan dilakukan di sekolah atau kampus melainkan di sekretariat orsospol yang bersangktan.
Dengan itikad baik, pendidikan politik bagi para pelajar dan mahasiwa tentu akan membuahkan hasil nyata. Peranserta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin nyata dan tidak semuanya lari ke sektor ekonomi.
Pengirim: A.B. Lindawati P (Pengamat masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Mojoagung)
Putera Pejabat VS Fasilitas
Akhir-akhir ini perbincangan mengenai putera atau kerabat pejabat yang menjadi pengusaha marak kembali setelah ketua salah satu OKP, yang juga kerabat seorang petinggi di Jatin, diduga melakukan pencaloan “alumunium sulphate” di PDAM Surabaya.
Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 dikatakan bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian tidak peduli anak pejabat atau bukan, kerabat atau bukan tidak dilarang menjadi pengusaha.
Tetapi kedudukan mereka sebagai pengusaha mulai dipertanyaan ketika dalam menjalankan usahanya disertai dengan fasilitas-fasilitas yang diperoleh karena jabatan yang dipegang oleh bapaknya atau kerabatnya yang pejabat. Hal ini tak jarang tidak sesuia dengan aturan yang berlaku, karena pertimbangan untuk memenangkan suatu tender misalnya didasarkan pada siapa dia atau siapa yang ada di belakangnya, bukan lagi kualitasnya.
Dalam hal ini negara juga diruhgikan terutama bila ternyata ada pengusaha yang lebih berkualitas ternyata harus tersingkir karena persoalan siapa dia. Kalaupun memang pengusaha putera pejabat atau kerabat pejabat memang lebih berkualitas, cara-cara semacam ini tentunya tetap tidak dapat dibenarkan karena tidak “fair”
Yang menjadi putera atau kerabat pejabatlah yang harus tahu diri karena bagaimanapun budaya “ewuh pakewuh” masih ada di kalangan masyarakat kita, apalagi bila sampai ada permintaan tertulis maupun lisan dari pejabat yang bersangkutan.
Memang harus diakui bahwa hal ini bukan hal yang mudah karena menyangkut mental. Siapa yang tidak ingin segalanya serba mudah, cepat dan tanpa perlu persyaratan yang “njlimet”? Tetapi apakah hal ini dapat dibiarkan terus menerus? Tidakkah hal ini akan menjadi pemicu kecemburuan sosial bisa-bisa memecah persatuan bangsa?
Pengirim: A.B. Lindawati P (Pengamat masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Mojoagung)
Thx atas infonya udah membantu saya dalam mengerjakan tugas kuliah :)
ReplyDeletePuji Tuhan kalau begitu.
Delete