Mudika Menggelar Bazaar di Bulan Ramadhan
Di negara yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslim, penyelenggaraan bazaar di bulan Ramadhan adalah hal yang biasa terjadi. Tetapi akankah bazaar yang digelar pada tanggal 21-23 Maret 1992 ini tetap menjadi hal yang biasa ketika mengetahui bahwa penyelengaranya adalah beberapa mudika Keuskupan Bogor? Tampaknya jawabannya akan berbunyi “tidak”.
Inilah kenyataan yang ditunjukkan oleh mudika St. Yakobus-Megamendung, mudika Hati Maria Tak Bernoda-Cicurug serta mudika St. Fransiskus-Cibadak.
Ide untuk mengadakan bazaar ini semula datang dari mudika Hati Maria Tak Bernoda, tetapi karena adanya keinginan untuk menjalin kerjasama dengan mudika paroki lain maka diajaklah mudika St. Yakobus, yang pernah beberapa kali mengadakan bazaar di bulan Ramadhan. Dan atas usulan dari Frater Jimmy Rampengan, yang sedang bertahun pastoral di Paroki Hari Maria Tak Bernoda dan Paroki St. Fransiskus, maka mudika St. Fransiskus juga diajak untuk berpartisipasi dalam bazaar ini.
Dalam bazaar yang dibuka untuk umum ini disediakan berbagai macam keperluan Lebaran semisal baju-baju baik baru maupun bekas tetapi layak pakai (dan yang terakhir inilah yang tampaknya sangat diminati oleh pengunjung), sepatu, makanan kecil, kaset, perlengkapan sholat, aksesori, dan keperluan sehari-hari seperti gula, mentega, dan telur. Di samping itu, bazaar yang digelar di halaman salah satu villa di Megamendung ini, juga membuka warung kaget ketika bedug maghrib sudah berbunyi.
Karena penyelenggraannya masih di bulan Ramadhan sehingga merupakan hal yang wajar bila di saat berbuka, lokasi bazaar sepi pengunjung tetapi dapat dikatakan bahwa msyarakat cukup antusias menyambut penyelenggaraan bazaar ini, yang ditandai dengan banyaknya pengunjung yang memadati stan-stan yang ada. Bahkan ketua panitia, Yoseph Nefomuck, ketika dihubungi menyatakan bahwa jumlah pengunjung melampaui target yang diperkirakan panitia. Sedangkan wakil ketua panitia, Ince Mailoa, juga mengungkapkan hal yang hampir serupa. Bahkan di hari kedua, bazaar terpaksa dibuka lebih awal dari jadwal yang semula direncanakan karena pengunjung sudah berdatangan.
“Bazaar ini merupakan salah satu bentuk bakti sosial mudika untuk masyrakat,” ucap Ince yang pernah menjabat sebagai ketua mudika St. Yakobus.
Sehingga merupakan hal yang wajar bila barang-barang yang dijual dalam bazaar ini, yang rencananya akan digelar di halaman Gereja St. Yakobus, harganya maksimum sama dengan harga pasar bahkan tidak sedikit yang berada di bawah harga pasar.
Yoseph, yang kini adalah pembimbing mudika Hati Maria Tak Bernoda, ketika dihubungi di sela-sela penyelenggaraan bazaar mengharapkan terjalinnya suatu kerjasama berkat penyelenggaran bazaar ini di samping merupakan bentuk latihan untuk bertanggungjawab.
Bahkan Ince mengharapkan kerjasama yang sudah diawali lewat penyelenggaraan bazaar ini bukan hanya di bazaar saja, ada follow up nya yang antara lain bisa dilakukan dengan mengajak keikutsertaan mudika yang lain bila sedang mengadakan kegiatan.
Salah seorang pengurus mudika St. Fransiskus ketika dihubungi dalam kesempatan terpisah mengatakan bahwa mereka turut berpartisipasi dalam bazaar ini karena ingin membina tali persaudaraan antar mudika terutama antara mudika paroki Cicurug, Megamendung serta Cibadak. Dikatakannya pula bahwa karena mengikuti bazaar yang jangkauannya relatif luas adalah hal baru maka diharapkan lewat bazaar ini pengalaman bisa bertambah. Dan kalau mungkin mencari dana dari kegiatan ini, tambahnya.
Mahasiswi semester VI ini juga mengatakan bahwa bazaar berjalan dengan baik walaupun hujan sempat mengguyur lokasi bazaar.
Satu hal yang cukup menarik untuk disoroti adalah meskipun bazaar ini diberi nama Bazaar Mudika, ketua dan wakil ketua panitianya malah dipegang oleh orang-orang yang boleh dibilang merupakan pembina mudika, kekurangan personil? Bisa jadi, tetapi yang jelas ketika hal ini dikonfirmasi pada Yoseph, dikatakannya bahwa yang dilakukannya hanyalah mengkoordinir kegiatan ini.
Bazaar telah usai , semoga saja apa yang diharapkan oleh para pelakon yang terlibat dalam bazaar ini dapat menjadi kenyataan. Dan juga sebuah acungan jempol tampaknya pantas diberikan untuk sebuah bakti sosialnya.
Pertemuan Seksi Sosial Paroki Se-Keuskupan Bogor
Sebagai salah satu langkah untuk membangkitkan kembali PP Sosek dari tidurnya, pada tanggal 22 November lalu telah diadakan pertemuan para seksi sosial paroki se-keuskupan Bogor bertempat di SMKK Baranangsiang. Pertemuan, yang menurut salah seorang dari wakil Paroki Katedral merupakan pertemuan yang pertama kalinya dalam tiga tahun terkahir ini, dihadiri oleh utusan-utusan Paroki St. Paulus Depok, St. Thomas Kelapa Dua, St. Petrus Cianjur, Katedral, St. Fransiskus Sukasari, St. Maria Yang Dikandung Tak Bernoda Rangkasbitung, dan St. Maria Malaikat-Malaikat Cipanas.
Acara diawali dengan perkenalan dan dilanjutkan dengan pengantar dari Pater Agust Surianto, Pr selaku Ketua Komisi PSE/Delsos Keuskupan Bogor. Dalam pengantarnya ini, Pater Agust mencoba menuangkan kembali Surat Gembala tentang Keterlibatan Sosial yang dikeluarkan oleh KWI pada tahun 1991 (lihat Umat Katolik Berperanserta dalam Mewujudkan Kesejahteraan Bersama dengan Membangun Persaudaraan Sejati).
APP dalam Konteks Gereja Indonesia
Bapak Maxi Fuun-Sekretaris Komisi PSE-kemudian memberikan gambaran tentang APP dalam konteks Gereja Indonesia. Dikatakannya bahwa mentalitas ketergantungan umat Katolik di Indonesia masih sangatlah kuat sehingga kebutuhan untuk mengembangkan diri masih sangat mendesak. Hasil yang dicapai oleh APP minim karena Gereja (hirarki) dipandang dan memperlihatkan diri serta menghadirkan diri sebagai “kaya”. APP, yang mulai dilaksanakan pada tahun 1972, dimaksudkan untuk menempatkan Aksi Puasa dalam konteks pembangunan masyarakat Indonesia, yang menyangkut pemahamamn dan pengembangan isi dan semangatnya (Aksi Puasa) oleh Gereja Katolik Indonesia.
Dikatakan pula bahwa tujuan diadakannya APP ini adalah mendewasakan umat dalam iman agar menjadi umat yang mandiri, yang sanggup membangun diri berdasarkan potensi yang dimilikinya. Meskipun demikian, hasil dana APP bukanlah satu-satunya tanda kedewasaan iman umat tetapi ditampakkan juga pada “kerelaan untuk berbagi”; bahkan dikatakan juga bahwa keberhasilan gerakan APP terutama diukur oleh banyaknya umat yang memahami, menghayati dan melaksanakan APP dalam kehidupan sehari-hari.
Karya Sosial Suster-suster RGS
Peserta pertemuan ini, yang berjumlah 26 orang, juga diajak untuk mendengar sharing dari Suster Regina, RGS tentang karya-karya sosial yang dilakukan oleh tarekatnya.
Karya sosial yang telah dilakukan adalah catering, bina anggaran, bina usaha, sanggar busana, serta menerima penitipan makanan di kantin SMKK.
Bina anggaran merupakan salah satu cara pengumpulan hasil pendapatan dan hasil penghematan melalui cara terarah, aman, terjamin, sederhana, tidak terikat tempat dan mudah diikuti yang dikembangkan oleh Yayasan Purba Danarta Semarang sejak tahun 1970. Kini, dicoba untuk dikembangkan untuk siswa-siswi dan pegawai di lingkungan SMKK Baranangsiang serta masyarakat di Ciampea.
Karya Seksi Sosial Paroki-Paroki di Keuskupan Bogor
Para utusan Seksi Sosial Paroki kemudian diminta untuk mensharingkan apa yang telah dilakukan oleh seksi sosial parokinya setelah sebelumnya acara sempat di”break” untuk memberi kesempatan menginventarisir kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan.
SSP Rangkasbitung, yang sejak tiga bulan terakhir mendapat 10% dari kolekte, berkarya melalui Dana Sehat Santo Martinus yang juga terbuka untuk non Katolik, Margilaya yang berkarya di bidang kematian, Credit Union Sejahtera, serta karya karitatif untuk 5 keluarga yang tidak berpenghasilan.
Memberikan bantuan karitatif, Credit Union, Rukun kematian, servis eletronika, kursus menjahit, donor darah, kerjasama dengan Panti Nirmala Jakarta untuk mengadakan seminar, vaksinasi dan pemeriksaan laboratoriun untuk Hepatitis telah dilakukan oleh SSP Depok.
SSP Kelapa Dua masih mandul dalam kegiatannya meskipun sudah ada seksi kematian dan Credit Union, yang baru satu hari dibentuk. Selama ini aksi sosial dilakukan oleh WKRI dan mudika.
Pemberian pelayanan kepada umat setiap hari Senin di kantor Sekretariat Paroki dilakukan oleh SSP Katedral yang mendapat dana sebesar 25% kolekte dan donatur. Hal lain yang telah dilakukan adalah mengadakan aksi Natal dan Puasa, memperbaiki rumah jompo (ada tiga buah), mengangkat anak asuh sebanyak 16 orang, memberi bantuan kesehatan dengan bekerjasama dengan Yayasan Melania dan dokter, pemberian susu untuk anak yang kurang gizi setiap bulan sekali, memberikan pinjaman tanpa bunga, penyaluran tenaga kerja serta membantu pembuatan MCK di Pondok Rumput. Kegiatan-kegiatan ini biasanya dilakukan dengan bekerjasama dengan Yayasan Warga Upadaya, WKRI serta Suster-suster FMM.
Membantu para janda, pengobatan, perusahaan kecil-kecil dilakukan oleh SSP Cipanas yang dipegang langsung oleh P. Tono, OFM sendiri.
Pengurus SSP Cianjur sudah ada tetapi aktivitasnya hanya mengurus orang meninggal sedangkan program anak asuh dan mencarikan pekerjaan dilakukan oleh Kelompok Spontanitas yang semula merupakan suatu persekutuan doa karismatik. Yang menarik, sempat muncul pendapat bahwa SSP ini tidak berfungsi karena di Cianjur tidak ada yang miskin,
Paroki Sukasari pada tahun 1987 mempunyai apa yang dinamakan Rukun Bapak-bapak St. Fransiskus, yang bertugas untuk menginventarisir masalah-masalah yang ada di paroki, dimana ketika itu dirumuskan bahwa masalah yang harus ditangani adalah menolong warga yang meninggal, terjalinnya komunikasi antar umat, pemenuhan kebutuhan umat dan hirarki serta meningkatkan jumlah dana yang ada. Kini rukun ini sudah tidak ada lagi sedangkan karya sosial yang dilakukan adalah membantu yang tidak mampu dengan menggunakan dana yang dimiliki oleh paroki.
Saran-saran
Dengan melihat kondisi yang ada selama ini, sebagian besar dari yang hadir mengharapkkan adanya kejelasan hubungan struktural antara PSE dan SSP serta adanya kunjungan ke paroki-paroki oleh PSE.
Pater Agust sendiri menangkap adanya keinginan untuk menjadikan PSE sebagai forum komunikasi dan pembinaan, sedangkan Pak MAxi sempat mengungkapkan bahwa tugas SSP adalah mendorong lembaga-lembaga untuk berkarya sosial sehingga dapat diartikan bahwa SSP tidak harus berjuang sendiri.
Menanggapi usulan agar dana APP tidak semuanya disetorkan ke Keuskupan tetapi cukup sisa dari penggunaannya di paroki yang bersangkutan karena selama ini untuk mencairkan permohonan bantuan kepada panitia APP cukup birokratis, P. Agust mengingatkan bahwa karya sosial Gereja haruslah selalu mengingat solidaritas dan subsidiaritas.
Demikianlah hasil pertemuan para seksi sosal paroki sebagai upaya untuk mempersiapkan paroki-paroki menjawab kebutuhan umat sehubungan dengan akan dibubarkannya RB Pendawa. KIta semua tentu berharap agar pertemuan ini benar-benar bisa menghasilkan tindak lanjut yang mampu menjawab kebutuhan tersebut. Semoga Tuhan memberkati usaha kita ini!
P.S. Dimuat di Berita Umat No.01/327 Jan 93
Tidak hanya Awam yang perlu tahu soal Politik
Meskipun tidak diperkenankan untuk berpolitik praktis, tampaknya para rohaniwan dan rohaniwati di Keuskupan Bogor juga tertarik untuk mengetahui situasi politik saat ini. Kenyataan ini semakin diperkuat oleh pernyataan ketua IKRAR (Ikatan Kerjasama antaar Religius Imam, Biarawan dan Biarawati) Keuskupan Bogor, yang secara rutin mengadakan pertemuan setiap dua bulan, dalam kesempatan terpisah menanggapi ide diadakannya ceramah oleh IKRAR pertengahan November lalu. Br. Paulus Adi, BM selaku ketua IKRAR mengatakan bahwa diharapkan lewat acara ceramah ini para rohaniwan dan rohaniwati lebih tahu tentang politik.
Dalam kesempatan ini, yang juga mengundang Komisi Kerawam dan ISKA Bogor, yang ditampilkan sebagai pembicara adalah Marcel Beding yang menggantikan Nico Daryanto yang tiba-tiba harus ke luar negeri dan Krissantono.
Tanggapan dari pihak anggota IKRAR tampaknya sangat positif, terbukti dari cukup banyaknya rohaniwan dan biarawan/wati yang memenuhi aula Regina Pacis saat itu. Bahkan menurut pengakuan Bruder Adi, yang hadir melampaui target. Dalam kesempatan ini hadir pula tokoh-tokoh awam di Keuskupan Bogor dan juga mahasiswa.
Acara yang berlangsung selama lebih kurang empat jam itu, menampilkan Marcel Beding sebagai pembicara pertama yang didampingi oleh Rm. Haruno, Pr selaku moderator. Mengawali pembicaraannya, Marcel beding menceritakan pengalamannya ketika menanggapi adanya anggapan bahwa politik itu kotor. Wartawan senior Kompas ini mengajukan sebuah pertanyaan singkat “Apa di dunia ini yang tidak kotor?” Tampaknya pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sulit dicarikan jawabannya.
Wakil Ketua DPP PDI ini mengatakan bahwa Pemilu adalah perkara penting di negara demokratis, yang digunakan oleh rakyat untuk menjalankan kedaulatannya. Setiap lima tahun, rakyat di negara kita diberi kesempatan untuk menentukan sendiri pemerintahan negara ini. Sedangkan pelaksanaan kampanye dimaksudkan untuk menampilkan program tiap-tiap OPP yang tentunya merupakan program yang mendukung pembangunan.
Dalam kesempatan ini Marcel Beding juga mengemukakn beberapa peristiwa politik yang cukup menonjol sejak Sidang Umum 1988. Disampaikan juga mengenai syarat-syarat untuk memilih dan dipilih.
Politik bukanlah sesuatu yang begitu kotor sehingga kita tidak boleh berkecimpung di dalamnya. Pengetahuan dan pengertian tentang politik haruslah dimiliki oleh setiap warganegara yang baik meskipun kegiatan politik praktis hanya dilakukan oleh orang-orang yang berbakat dan mempunyai kepandaian tertentu, demikian kata anggota DPR/MPR ini. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila Marcel Beding menyambut baik diadakannya acara ini karena menurutnya anggota IKRAR, yang merupakan salah satu Komisi di Keuskupan Bogor, juga perlu tahu politik.
Yang sangat disayangkan dari session pertama ini adalah lebatnya hujan yang mengguyur kota Bogor sehingga yang duduk di barisan terdepan pun harus menajamkan telinganya agar kehadirannya di acara ini tidak sia-sia.
Krissantono dalam kesempatan ini mengemukakn tentang bagaimana sikap sebagai orang Katolik terhadap Pemilu. Di awal pembicaraannya anggota dewan pastoral KAJ ini membacakan beberapa pedoman yang dikeluarkan baik oleh MAWI maupun KWI sehubungan dengan diadakannya Pemilu yang sudah-sudah. Semua pedoman itu boleh dikatakan mendorong umat Katolik untuk turut serta dalam Pemilu meskipun tetap perlu diingat bahwa Pemilu adalah alat, sedangkan tujuannya adalah pembangunan kesejahteraan untuk semua orang.
Manggala BP7 Pusat ini juga mengemukakan bagaimana sikap Konsili Vatikan II terhadap masalah politik. Dalam hal ini Gaudium et Spes mengatakan bahwa hendaknya semua warga negara mengingat bahwa mereka berhak dan sekaligus berkewajiban untuk menggunakan hak suaranya yang bebas demi memajukan kepentingan umum.
Mengakhiri uraiannya tentang bagaimana sikap Gereja sendiri terhadap masalah politik terutama masalah Pemilu, Krissantono menganjurkan kepada yang hadir untuk membaca pedoman Gereja bila menghadapi Pemilu. Dikatakannya juga bahwa sikap Gereka jelas, yaitu menganjurkan untuk aktif dan turut serta dalam Pemilu. Lebih lanjut dikatakannya bahwa turut serta di sini mencakup tiga arti, yaitu turut serta secara biasa, mengajak orang lain untuk memilih maupun terjun langsung.
Dianjurkannya untuk menjauhi sikap acuh tak acuh dan cuek, kritis boleh tetapi konstruktif dan janganlah skeptis. Sikap pengikut Kristus bukanlah serba tidak dan serba ya.
Haruslah diakui bahwa dalam kesempatan yang dihadiri sekitar 150 orang ini, Krissantono juga mengemukakn apa yang harus dilakukan Gereja sebagai antisipasi. Yang pertama mendampingi awam dalam hal moral dan ajaran Gereja. Hal lain adalah hierarki diharapkan turut meningkatkan kualitas kekatolikan dan pengabdian. Sedangkan bagi awam diharapkan kehadirannya di setiap bidang kemasyarakatan dan kenegaraan, demikian juga halnya mahasiswa; tetapi semuanya itu hendaknya dilakukan bukan untuk mencari kedudukan melainkan untuk menggarami, di sinilah yang dikatakan orang Katolik berpolitik. Selain itu awam juga harus capable dan acceptable, sehingga apa yang dicapai merupakan hasil dari kemampuan diri bukan karena pertolongan.
Dikatakannya pula bahwa turut memilih bukanlah suatu kewajiban, tidak ada sanksi bila tidak memilih. Hal ini dikatakannya menanggapi pertanyaan seputar golongan putih. Penggunaan hak pilih tidak hanya sekedar pelaksanaan demokrasi tetapi mengandung hak asasi manusia untuk memegang kedaulatannya. Pemilu merupakan kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya sehingga dengan demikian merupakan kesempatan untuk menggunakan hak kedaulatan.
“Betapapun hebatnya pengamat dan penonton, ia tidak bisa menggolkan bola ke gawang tetapi betapun bodohnya seorang pemain, ia bisa menggolkan bola,”tandasnya ketika menjawab pertanyaan salah seorang undangan. Dikatakannya juga bahwa sikap yang tidak mau kotor, tidak mau ambil resiko bukanlah sikap orang Kristiani; setiap langkah ada resikonya tetapi asal benar jalan terus saja.
Dengan berakhirnya tanya jawab untuk session kedua maka berakhir pula pertemuan IKRAR yang mayoritas dihadir oleh para suster.
Tuhan Memanggilku Menjadi Alat-Nya
Umat Paroki Santo Fransiskus Cibadak-Sukabumi punya hajat pada hari Minggu tanggal 31 Januari 1992 lalu. Ya…pada hari itu ada dua orang calon akolit dan tiga orang calon diakon akan ditahbiskan menjadi akolit dan diakon di gereja mereka, gereja yang baru saja direnovasi meskipun renovasi itu belum seluruhnya selesai dan bahkan inilah Ekaristi pertama di gereja itu.
Lagu Allah Memanggilmu mengiringi langkah para misdinar, calon akolit, calon diakon, serta selebran Perayaan Ekaristi tahbisan, yaitu Mgr. Ignasius Harsono, Pr, Mgr. N.J.C. Geise, OFM selaku Rektor Seminari Tinggi Santo Petrus dan Paulus.
Tahbisan akolit dilakukan setelah homili, yang antara lain ditandai dengan penyerahan kandelar dengan lilin yang bernyala, serta wadah anggur oleh Mgr. Ignasius Harsono, Pr kepada para akolit, yaitu Frater Markus.
Tahbisan diakon diawali dengan pernyataan kesediaan dari para calon untuk menerima tugas sebagai seorang diakon, yang kemudian dilanjutkan dengan pengucapan janji setia diakon. Calon diakon kemudian bertiarp di belakang para selebran Perayaan Ekaristi, yang menghadap tabernakel, dengan diiringi lagu Litani Para Kudus, yang dilantunkan bergantian antara solis dengan umat yang dibantu oleh koor dari Mudika Paroki Cibadak dan Paroki Cicurug.
Doa tahbisan dilantunkan oleh Mgr. Ignasius Harsono, Pr setelah melakukan penumpangan tangan di atas kepala para calon diakon. Dengan penumpangan tangan ini, maka resmilah Frater Laurentius Tueng, OFM, Frater Petrus Jimmy Jacson Rampengan, Pr serta Frater Thomas Saidi, Pr menjadi diakon.
Para diakon baru kemudian menghadap Bapa Uskup untuk menerima pakaian diakon-stola dan dalmatik-serta mengenakannya dengan bantuan keluarga. Bapa Uskup kemudian menyerahkan Kitab Suci kepada mereka sambil berpesan agar berusaha supaya apa yang dibacakan, dipercaya; yang dipercaya, diajarkan; yang diajarkan, dilaksankan.
Diakon baru kemudian membantu para selebran dalam liturgi Ekaristi. Perayaan Ekaristi tahisan berakhir dengan berakhirnya lagu Tuhan Jadikanlah Daku Pembawa Damai, yang didahului dengan mohon rahmat Tuhann supaya umat yang hadir mampu melaksanak tugas perutusannya.
Dalam homilinya, Mgr. Ignasius Harsono, Pr mengemukakan kembali Renungan untuk Seorang Diakon yang disadur dari bahan homili yang terdapat dalam buku De Ordinatione Deaconorum 1988 serta tentang ketaatan seorang diakon. Dikatakan bahwa seorang diakon haruslah melaksanakan tugas berdasarkan kehendak Uskup bukan berdasrkan kehendaknya sendiri. Hal ini tampaknya bukanlah hal yang aneh mengingat para calon telah berjanji untik menghormati dan menaati Pemimpin dan para penggantinya.
Tugas seorang diakon adalah sebagai pembantu Uskup dan para Imam dalam melayani umat Allah, mewartakan iman seperti para rasul melalui kata dan perbuatan seperti diajarkan dalam Kitab Suci dan tradisi Gereja, berdoa dengan tekun terutama melaksanakn ibadat harian bersama dan demi gereja serta seluruh dunia serta membangun hidup selaras dengan teladan Yesus Kristus dimana Tubuh dan Darah-Nya akan diterimakan kepada umat.
Selesai Perayaan Ekaristi, umat dipersilakan untuk memberikan ucapan selamat kepada para diakon baru, yang didampingi oleh keluarga masing0-masing. Acara selanjutnya adalah ramah tamah, yang bertempat di SMP Mardi Yuana Cibadak, yang kemudian dilanjutkan dengan makan siang bersama. Semula panitia meminta Bapa Uskup untuk memimpin doa makan tetapi kemudian melimpahkannya kepada salah seorang diakon baru.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Nah…bagaimana kalau kita kenali para diakon baru ini satu persatu.
Frater Laurentius Tueng, OFM adalah putra Hadakewa/Lembata, yang dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1964 dari pasutri Paulus Bala dan Agnes Kuma. Pada tahun 1983 dimasukinya masa postulat yang kemudian dilanjutkan dengan masa novisiat di Depok, Fakulktas FIlsafat Driyarkara, Jakarta ditekuniya dari tahun 1985-1989, yang kemudian dilanjutkan dengan TOP-Tahun Orientasi Pastiral. Tahun 1990-1992, Frater yang biasa dipanggil Laurens ini menyelesaikan kuliah Teologinya di Fakultas Teologi Wedabhaki,Yogayakarta. Penggemar mie goreng, renang dan baca ini kemudian menjalani Tahun Pastoral di Paroki Cianjur. Frater yang baru pertama kali ini ke Cibadak ini mempunya motto “Di dalam Hatiku Kusimpan janji-Mu”
Petrus Jimmy Jacson Rampengan nama lengkapnya. Putra pasutri Paulus Rampengan dan Betty ini dilahirkan di Bogor pada tanggal 21 Oktober 1964. Frater yang punya hobi berenang ini menamatkan SMA-nya di tahun 1984, yaitu di SMA Mardi Yuwana Sukasari, yang kemudian dilanjutkannya ke Seminari Menengah Stella Maris. Tahun 1992 diselesaikannya kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Parahiyangan Bandung yang kemudian dilanjutkannya dengan tahun pastoral di Paroki Cicurug dan Paroki Cibadak, membantu Romo A.S. Gaib Pratolo, Pr-pastor paroki di kedua paroki tersebut. Anak pertama dari lima bersaudara ini semasa mahasiswa pernah aktif di senat mahasiswa dan Redaksi Majalah Melintas Fakultas Filsafat Unpar serta menjadi Redaksi Majaah Berita Umat ketika menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Katedral. Frater yang dekat dengan mudika-nya ini mempunyai motto “Belajarlah dari hidup ini”.
Putra pasutri Alexander Pardjan Redjoijono dan Alm. Yustina Tukinem Redjoijono ini mempunyai nama lengkap Thomas Saidi. Putra Magelang, yang biasa dipanggil Thomas, ini lahir pada tanggal 22 Sepetember 1964. Di tahun 1980 dimasukinya Seminari Menengah Stella Maris yang kemudian dilanjutkan di Seminari Tinggi Santo Petrus dan Paulus sambil menekuni kuliah di Fakultas Filsafat Unpar Bandung dari tahun 1985 sampai 1991. Tahun Orientasi Pastoral dijalaninya di Paroki Santo Petrus Cianjur pada tahun 1988. Tahbisan akolit/lektor diterimanya di Kapel Seminari Stella Maris pada tanggal 31 Januari 1992 dan kemudian tahun pastoral dijalaninya di Paroki Katedral. Frater yang pernah menjadi anggota Communication Life Christian (CLC) Bandung, Legio Mariae Bandung dan Choice ini merupakan putra kedua dari tiga bersaudara dan mempunyai moto “My life is grace”.
Setelah bertahun-tahun tidur, kini Pemuda Katolik cabang Bogor mulai bangun dari tidurnya. Hal ini ditandai dengan mulai dilakukannya perekrutan anggota baru yang rata-rata masih mahasiswa.
Karena dipandang perlunya konsolidasi bagi organisasi massa yang baru bangun ini, maka pada tanggal 7 Maret lalu telah dilakukan pertemuan antara Pemuda Katolik dengan Komisi Kerasulan Awam dan Komisi Kepemudaan Keuskupan Bogor.
Pertemuan ini diisi dengan dialog terbuka tentang Pemuda Katolik: kemarin, kini dan esok, yang mana lewat pertemuan ini diharapkan terungkapkan apa yang menjadi keprihatinan bersama serta penentuan alternatif pemecahannya.
Acara pertama adalah pengenalan diri para undangan yang memenuhi aula SMKK Baranangsiang, Bogor. Dari perkenalan ini terungkap bahwa dari 25 orang yang hadir, termasuk anggota Pemuda Katolik yang baru, ternyata tidak semuanya pernah menjadi anggota Pemuda Katolik.
Dengan dipandu Pak Agus K, Ketua Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Bogor, dialog pun bergulir.
Beberapa hal yang menarik yang sempat muncul dalam dialog ini adalah tentang penyebab tidurnya Pemuda Katolik cabang Bogor, langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pengurus yang baru serta keiklasan penyerahan tongkat estafet kepengurusan.
Tentang penyebab tidurnya Pemuda Katolik, Pak Wit, guru SMA MY-mengatakan seringnya mengadakan pertemuan yang tidak tepat waktu merupakan salah satu penyebabnya, selain itu juga timbulnya kesulitan regenerasi. Pernyataan yang terakhir ini didukung oleh Pak Agus K.
Sedangkan Pak Yono melihat perlunya konsolidasi bagi ormas yang baru beberapa bulan ini bangun dari tidurnya. Pak Agus serta Pak Puniman, wartawan Kompas, juga mengatakan hal yang hampir sama.
Keanggotaan Pemuda Katolik yang bersifat kaderisasi menyebabkan ormas yang satu ini harus selektif dalam menerima anggota, hal ini diungkapkan oleh Pak Wit. Sedangkan perluya melihat perbedaan lahan antara Pemuda Katolik dan Mudika ditekankan oleh Pak Sardi; dengan demikian perlu adanya tenggang rasa antara keduanya, demikian ungkap Pak Wit.
Pak Maurits, guru SMP Kesatuan yang pernah mencoba membangunkan Pemuda Katolik bersama rekan-rekannya, melihat perlunya keikhlasan pengurus lama untuk menyerahkan tongkat estafet kepengurusan kepada pengurus yang baru sehingga pengurus yang baru dapat bergerak lebih leluasa. Menanggapi ini, Pak Wit mengatakan bahwa penyakit lama, yaitu keenganan untuk menyerahkan tugas kepada yang lebih muda apabila yang tua sudah tidak mampu lagi, haruslah dihilangkan. Sedangkan Pak Ginting menyatakan bahwa beliau 100% iklhas menyerahkan tongkat estafet kepengurusan.
Program yang sederhana, tidak selalu mendongak ke atas serta ketidaktakutan disarankan oleh Pak Puniman.
Sedangkan Pak Maxi, anggota Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, melihat perlunya konbinasi kepengurusan sehingga dalam kepengurusan dijumpai pula orang yang bisa terus berada di Keuskupan Bogor serta tidak semuanya masih muda-muda.
Pertemuan yang sempat di”break” selama 10 menit untuk memberikan kesempatan kepada yang hadir untuk berbincang-bincang secara pribadi maupun untuk bereuni akhirnya ditutup dengan pembacaan kesimpulan oleh Eko Dwiantoro, Ketua Pemuda Katolik cabang Kotamadya Bogor, yang intinya kelegaan pengurus baru karena adanya dukungan pengurus lama bagi bangunnya Pemuda Katolik cabang Bogor, pengakuan akan keberadaan Pemuda Katolik baik oleh hirarki maupun pemerintah masih ada, perlunya program yang sederhana, murah, efektif serta efisien di samping perlunya penegasan lahan yang dimaksudkan untuk menghindarkan bentrokan antara Pemuda Katolik dan Mudika, perlunya kombinasi kepengurusan antara yang asli Bogor dengan pendatang, serta perlunya penerimaan anggota yang selektif karena Pemuda Katolik adalah organisadi kader.
Pengirim: A.B. Lindawati P
No comments:
Post a Comment