Triduum adalah renungan 3 hari, suatu istilah yang saya ketahui untuk pertama kalinya ketika mengikuti rekoleksi di biara FCJ Yogyakarta di awal April 2006.
12 Juni 2006 saya tiba di biara SS.CC Bandung dan bertemu dengan Sr. Lia SS.CC. Sebuah rencana kunjungan yang cukup mendadak tetapi justru membuat saya berkesempatan mengalami triduum pribadi dalam rangka ulang tahun ke - 35. Seorang teman memberi informasi bahwa suster-suster SSCC memakai baju bebas seperti awam dan saya bertemu dengan Sr. Morta, SS.CC dan Sr. Reni, SS.CC di Yogyakarta awal April 2006. Saat itu belum terbersit keinginan untuk tahu lebih banyak tentang SS.CC sampai akhirnya saya mendapat undangan perkawinan seorang teman di Bandung sehingga memungkinkan kunjungan ke biara SS.CC.
Saya diajak Sr. Lia dan Sr. Kristina mengunjungi perkampungan di belakang biara pada tanggal 13 Juni 2006 pagi. Saya siap dengan celana jeans dan kaos serta tas tangan yang berisi semua peralatan termasuk payung dan kamera. Kami berjalan di gang-gang sempit sela-sela rumah penduduk terkadang lebarnya hanya cukup untuk satu orang saja.
Keluarga pertama yang kami kunjungi sebut saja Bapak Amin, baru mempunyai cucu yang ditidurkan di lantai ruang tamu rumahnya. Kami mengunjungi Pak Amin untuk mengambil formulir beasiswa untuk anaknya yang seharusnya sudah diantar ke biara mengingat batas waktu pendaftaran beasiswa hampir habis. Kami pun duduk di atas tikar di dekat cucunya. Mereka tidak sempat mengantar formulir yang sudah diketik rapi tetapi tidak ada tanda tangan.
Ibu Hasan sedang menggoreng tempe di ruang depan rumahnya ketika kami tiba. Kami duduk di tikar di lantai ruang tamu yang dilengkapi dengan VCD player. Salah seorang anak laki-lakinya sudah 3 minggu tidak sekolah karena menderita sakit di paru-parunya. Mereka belum bisa membawa berobat ke RS Hasan Sadikin karena belum ada biaya. Suster sudah menyarankan untuk meminta surat keterangan dari RT sehingga bebas biaya RS tetapi suaminya malu meminta surat ini karena baru saja membayar iuran RT sebagai warga baru. Seandainya saja keluarga ini tahu bahwa anaknya menderita tumor yang tentunya harus segera di tangani oleh dokter spesialis karena dokter puskesmas hanya berani memberikan obat penghilang sakit saja. Salah seorang anak gadisnya, yang memakai tindik di lidahnya, tidak mau melanjutkan sekolah karena ingin bekerja padahal hanya mengantongi ijasah SD.
Ibu Budi sedang menggendong anaknya yang terkecil ketika kami datang. Pak Budi segera menggelar tikar di lantai ruang depan rumahnya yang sekaligus menjadi dapur. Pak Budi mengatakan bahwa anak yang sedang digendong itu adalah anak ke-6 sedangkan 4 anak yang lain dititipkan di orang tuanya di desa. Di ruang depan itu tampak gerobak pikulan yang biasq dipakai untuk berjualan.
Ibu Broto baru saja mandi ketika kami datang. Kami segera duduk di lantai ruang samping tokonya. Suster membutuhkan informasi biaya masuk sekolah dari anaknya karena ada anak yang akan pindah sekolah. Bapak Broto yang baru saja berbelanja ikut bergabung berbincang-bincang dengan kami. Menurutnya anak-anak di daerah tersebut hanya berpikir cukup lulus SD saja bahkan ada yang menikah di usia belasan tahun.
14 Juni 2006 saya mengikuti pertemuan pembakti Hati Kudus Yesus (kelompok awam dari SS.CC) yang dipimpin Romo Thomas Sukotriraharjo, SS.CC. Romo Thomas menjelaskan tentang rencana adorasi malam itu dan juga Triduum dalam rangka Hari Raya Hati Kudus Yesus yang akan diadakan 21,22 dan 23 Juni 2006. Setelah itu acara dilanjutkan dengan adorasi dalam rangka Beatifikasi Pater Eustaquio SS.CC di Brazil 15 Juni 2006. Adorasi dibuka dengan kata-kata bijak dari Theresia dari Avila – Taize :
a. Janganlah ada sesuatu yang merisaukanmu, tidak ada sesuatu yang membuat engkau takut; seseorang yang mempunyai Allah tak kurang sesuatupun!
b. Janganlah ada sesuatu yang merisaukanmu, tidak ada sesuatu yang membuat engkau takut; hanya Allah yang mencukupimu!
Pater Eustaquio yang lahir di Belanda pada tahun 1890 dan ditahbiskan menjadi imam SS.CC pada tahun 1919. Cita-citanya menjadi misionaris terpenuhi ketika ia diutus ke Aqua-Suja, sebuah kota kecil di Brasilia, yang telah luntur kehidupan menggerejanya. Sikap tegasnya segera mengubah situasi. Selang 9 tahun, ia dipindahkan ke Poa. Untuk melawan kaum spiritis di Poa, para pengacau iman, digunakannya air dari Lourdes dan memang terjadi penyembuhan ajaib. Ketika kehabisan air Lourdes, digunakannya air suci yang ia berkati sendiri. Penyembuhan tetap saja terjadi bahkan sampai wafatnya. Belo Horizonte, tempat tugasnya terakhir, menyaksikan wafatnya akibat gigitan serangga di tahun 1943. Menjelang wafatnya, beliau mengulangi kata-kata yang pernah diucapkan pada tahun 1915 : “Saya, Eustaquio, sesuai dengan Konstitusi yang disahkan oleh Tahta Suci, mengucapkan kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan, sebagai saudara dalam Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria. Dalam berbakti kepada mereka, saya mau hidup dan mati. Dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus. Amin!”. Makamnya tetap dikunjungi peziarah hingga saat ini. Proses beatifikasi dimulai tahun 1949.
Saya mengucap syukur dan terima kasih untuk ulang tahun ke – 35 pada misa pagi 15 Juni 2006 di Gereja St. Gabriel Gandarusa yang dipersembahkan oleh Romo Ferry Indarto, SS.CC. Siang harinya, saya makan bersama suster dengan menu ayam masak kentang, tumis jagung, tumis jamur, pizza hut dan brucetta. Sr. Lia membawakan es krim diiringi lagu Happy Birthday oleh Sr. Kristina, Sr. Paula, Sr. Maria Nieves dan Sr. Brigid Falahee. Kamipun berfoto bersama.
Sungguh suatu kesempatan yang istimewa, ulang tahun di biara bertepatan dengan beatifikasi Sang Pemukjizat Pater Eustaquio van Lieshout SS.CC serta triduum yang berisi kunjungan ke kampung, adorasi dan Ekaristi Syukur.
“Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita” (Ef 5 : 20)
Mojoagung, Hari Raya Hati Kudus Yesus 2006
23 Juni 2006
12 Juni 2006 saya tiba di biara SS.CC Bandung dan bertemu dengan Sr. Lia SS.CC. Sebuah rencana kunjungan yang cukup mendadak tetapi justru membuat saya berkesempatan mengalami triduum pribadi dalam rangka ulang tahun ke - 35. Seorang teman memberi informasi bahwa suster-suster SSCC memakai baju bebas seperti awam dan saya bertemu dengan Sr. Morta, SS.CC dan Sr. Reni, SS.CC di Yogyakarta awal April 2006. Saat itu belum terbersit keinginan untuk tahu lebih banyak tentang SS.CC sampai akhirnya saya mendapat undangan perkawinan seorang teman di Bandung sehingga memungkinkan kunjungan ke biara SS.CC.
Saya diajak Sr. Lia dan Sr. Kristina mengunjungi perkampungan di belakang biara pada tanggal 13 Juni 2006 pagi. Saya siap dengan celana jeans dan kaos serta tas tangan yang berisi semua peralatan termasuk payung dan kamera. Kami berjalan di gang-gang sempit sela-sela rumah penduduk terkadang lebarnya hanya cukup untuk satu orang saja.
Keluarga pertama yang kami kunjungi sebut saja Bapak Amin, baru mempunyai cucu yang ditidurkan di lantai ruang tamu rumahnya. Kami mengunjungi Pak Amin untuk mengambil formulir beasiswa untuk anaknya yang seharusnya sudah diantar ke biara mengingat batas waktu pendaftaran beasiswa hampir habis. Kami pun duduk di atas tikar di dekat cucunya. Mereka tidak sempat mengantar formulir yang sudah diketik rapi tetapi tidak ada tanda tangan.
Ibu Hasan sedang menggoreng tempe di ruang depan rumahnya ketika kami tiba. Kami duduk di tikar di lantai ruang tamu yang dilengkapi dengan VCD player. Salah seorang anak laki-lakinya sudah 3 minggu tidak sekolah karena menderita sakit di paru-parunya. Mereka belum bisa membawa berobat ke RS Hasan Sadikin karena belum ada biaya. Suster sudah menyarankan untuk meminta surat keterangan dari RT sehingga bebas biaya RS tetapi suaminya malu meminta surat ini karena baru saja membayar iuran RT sebagai warga baru. Seandainya saja keluarga ini tahu bahwa anaknya menderita tumor yang tentunya harus segera di tangani oleh dokter spesialis karena dokter puskesmas hanya berani memberikan obat penghilang sakit saja. Salah seorang anak gadisnya, yang memakai tindik di lidahnya, tidak mau melanjutkan sekolah karena ingin bekerja padahal hanya mengantongi ijasah SD.
Ibu Budi sedang menggendong anaknya yang terkecil ketika kami datang. Pak Budi segera menggelar tikar di lantai ruang depan rumahnya yang sekaligus menjadi dapur. Pak Budi mengatakan bahwa anak yang sedang digendong itu adalah anak ke-6 sedangkan 4 anak yang lain dititipkan di orang tuanya di desa. Di ruang depan itu tampak gerobak pikulan yang biasq dipakai untuk berjualan.
Ibu Broto baru saja mandi ketika kami datang. Kami segera duduk di lantai ruang samping tokonya. Suster membutuhkan informasi biaya masuk sekolah dari anaknya karena ada anak yang akan pindah sekolah. Bapak Broto yang baru saja berbelanja ikut bergabung berbincang-bincang dengan kami. Menurutnya anak-anak di daerah tersebut hanya berpikir cukup lulus SD saja bahkan ada yang menikah di usia belasan tahun.
14 Juni 2006 saya mengikuti pertemuan pembakti Hati Kudus Yesus (kelompok awam dari SS.CC) yang dipimpin Romo Thomas Sukotriraharjo, SS.CC. Romo Thomas menjelaskan tentang rencana adorasi malam itu dan juga Triduum dalam rangka Hari Raya Hati Kudus Yesus yang akan diadakan 21,22 dan 23 Juni 2006. Setelah itu acara dilanjutkan dengan adorasi dalam rangka Beatifikasi Pater Eustaquio SS.CC di Brazil 15 Juni 2006. Adorasi dibuka dengan kata-kata bijak dari Theresia dari Avila – Taize :
a. Janganlah ada sesuatu yang merisaukanmu, tidak ada sesuatu yang membuat engkau takut; seseorang yang mempunyai Allah tak kurang sesuatupun!
b. Janganlah ada sesuatu yang merisaukanmu, tidak ada sesuatu yang membuat engkau takut; hanya Allah yang mencukupimu!
Pater Eustaquio yang lahir di Belanda pada tahun 1890 dan ditahbiskan menjadi imam SS.CC pada tahun 1919. Cita-citanya menjadi misionaris terpenuhi ketika ia diutus ke Aqua-Suja, sebuah kota kecil di Brasilia, yang telah luntur kehidupan menggerejanya. Sikap tegasnya segera mengubah situasi. Selang 9 tahun, ia dipindahkan ke Poa. Untuk melawan kaum spiritis di Poa, para pengacau iman, digunakannya air dari Lourdes dan memang terjadi penyembuhan ajaib. Ketika kehabisan air Lourdes, digunakannya air suci yang ia berkati sendiri. Penyembuhan tetap saja terjadi bahkan sampai wafatnya. Belo Horizonte, tempat tugasnya terakhir, menyaksikan wafatnya akibat gigitan serangga di tahun 1943. Menjelang wafatnya, beliau mengulangi kata-kata yang pernah diucapkan pada tahun 1915 : “Saya, Eustaquio, sesuai dengan Konstitusi yang disahkan oleh Tahta Suci, mengucapkan kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan, sebagai saudara dalam Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria. Dalam berbakti kepada mereka, saya mau hidup dan mati. Dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus. Amin!”. Makamnya tetap dikunjungi peziarah hingga saat ini. Proses beatifikasi dimulai tahun 1949.
Saya mengucap syukur dan terima kasih untuk ulang tahun ke – 35 pada misa pagi 15 Juni 2006 di Gereja St. Gabriel Gandarusa yang dipersembahkan oleh Romo Ferry Indarto, SS.CC. Siang harinya, saya makan bersama suster dengan menu ayam masak kentang, tumis jagung, tumis jamur, pizza hut dan brucetta. Sr. Lia membawakan es krim diiringi lagu Happy Birthday oleh Sr. Kristina, Sr. Paula, Sr. Maria Nieves dan Sr. Brigid Falahee. Kamipun berfoto bersama.
Sungguh suatu kesempatan yang istimewa, ulang tahun di biara bertepatan dengan beatifikasi Sang Pemukjizat Pater Eustaquio van Lieshout SS.CC serta triduum yang berisi kunjungan ke kampung, adorasi dan Ekaristi Syukur.
“Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita” (Ef 5 : 20)
Mojoagung, Hari Raya Hati Kudus Yesus 2006
23 Juni 2006
Linda AB (linda_ab06@yahoo.com)
Stasi St. Aloysius Gonsaga Mojoagung, Paroki St. Yosef Mojokerto
Catatan :
1. Referensi dari teks adorasi malam menjelang Beatifikasi Pater Eustaquio dan kartu "Pater Eustaquio Sang Pemukjizat”
2. Nama-nama penduduk (dicetak tebal) adalah nama samaran
No comments:
Post a Comment