Renungan di bawah ini merupakan terjemahan dari http://www.lentreflections.com/
Segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu
Pada dasarnya perumpamaan tentang Anak yang Hilang (Luk 15:1-32), sesuai
bacaan Misa hari ini, mengatakan segala sesuatu yang perlu kita ketahui tentang
hubungan kita dengan Allah.
Kita mendengar: “Ada
seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata
yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita
yang menjadi hakku.” Kita adalah
anak-anak Allah; kita telah diberi hidup, keberadaan dan segala sesuatu; setiap
saat kita ada melalui Dia.
Tetapi kemudian muncul sikap yang salah: “berikanlah
kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku.” Hidup dengan baik dalam Allah
memerlukan sikap menerima dan murah hati, menerima berkat dari Allah dan selalu
siap untuk membagikannya.
Tetapi Allah menghormati kebebasan kita, maka “ayahnya
membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka.” Hal ini merupakan saat yang tragis.
Apa arti aliran rahmat yang dibagi, terpisah dan terbagi menjadi milikmu
dan milikku.
Kemana si anak bungsu pergi? Dia pergi ke “negeri yang jauh.” Frasa chora makra dalam bahasa Yunani berarti “kekosongan yang terbuka lebar.” Dia menghabiskan uang warisannya
dengan sia-sia. Kita kehilangan hidup
ilahi jika kita melekat padanya sebagai milik pribadi. Dia terpaksa bekerja sebagai penjaga
babi. Dalam chora makra hanya ada hubungan berdasarkan perhitungan ekonomi, setiap
orang berusaha bersandar pada apa yang dimilikinya. “Tidak ada orang yang tergerak untuk
memberinya sesuatu.” Hal ini terjadi di negeri yang jauh: di tempat dimana
tidak ada pemberian.
Ketika menyadari keadaannya, dia
memutuskan untuk kembali kepada ayahnya dan mengatakan: “jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” Dia tahu bahwa para buruh ayahnya pun berada
dalam hubungan yang menghidupkan.
Ketika ia masih jauh, ayahnya, yang pasti
telah mencarinya, telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas
kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkannya lalu merangkul dan menciuminya. Kisah dalam Kitab Suci bukanlah kisah tentang
pencarian kita akan Allah, melainkan tentang kasih Allah dan pencarian-Nya akan
kita, yang tak kunjung henti. Kemudian ayahnya
berkata, “kenakanlah cincin pada
jarinya dan sepatu pada kakinya.” Ini adalah cincin perkawinan,
yang melambangkan penyatuan kembali hubungan kita dengan Allah.
Si anak sulung sebenarnya berada pada taraf rohani yang sama dengan
adiknya, meskipun secara sekilas sangat berbeda dengan adiknya, mereka berada pada ruang rohani yang sama,
karena dia juga melihat hubungan dengan ayahnya hanya dalam hubungan ekonomi. Sama
seperti kebanyakan orang religius yang tulus dan banyak dihormati, dia merasa
tersisihkan oleh perayaan untuk seseorang yang pasti tidak berhak mendapatkannya. Dengarkanlah bahasanya: “ Telah
bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa,
tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk
bersukacita dengan sahabat-sahabatku.”
Si anak sulung adalah seorang buruh dan seseorang yang sangat menaati –
tetapi bukan seseorang mewarisi jiwa ayahnya.
Dia merasa bahwa dia harus memperoleh atau berhak atas cinta
ayahnya. Dia membenci adiknya dan
membenci kemurahan ayahnya. “Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan
bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu
tambun itu untuknya.” Ketika kita berada
di luar cinta Allah, kita jatuh pada kebencian pada sesama.
Sang ayah dengan sabar menerangkan: “Anakku,
engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah
kepunyaanmu.” Ini adalah kunci dari perumpamaan ini dan sesuai
untuk kedua anak laki-laki ini meskipun mereka tidak menyadarinya.
Semua telah diberikan Allah kepada kita.
Seluruh keberadaan-Nya adalah “for-giving,” yang artinya mengampuni dan
berasal dari kata “for” artinya untuk dan “giving” artinya memberi.
No comments:
Post a Comment