A 14 pages cancelled stamp album kindness of Ms. Atik |
Let's do simple things with simple love to make God's love visible. (Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.)
Wednesday, July 21, 2021
Jendela Gereja
Pengantar
Ini merupakan ruang baru di BU dan boleh dikatakan merupakan pengganti dari Ruang Bina Iman yang sejak bulan September 1992 tidak muncul lagi di BU.
Jendela seringkali dipakai juga untuk melihat apa yang ada di dalam rumah/kamar, demikian juga halnya dengan ruang baru kita ini, yang diharapkan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengetahui apa yang ada di dalam gereja, baik itu tradisinya maupun ajaran imannya. Sebuah harapan yang mungkin sulit diraih tapi itulah idealisme yang ada ketika muncul ide untuk menampilkan ruang ini. Saran dan kritik pembaca tentu akan sangat membantu bagi terwujudnya harapan itu.
Akhirnya silakan mengikuti! (A.B. Lindawati)
Indulgensi
Pada tanggal 1 November Gereja memperingati Hari Raya Semua Orang Kudus sedangkan pada tanggal 2 November diperingati arwah semua orang beriman. Datangnya kedua hari ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari Indulgensi karena dalam rangka peringatan semua orang beriman, setiap orang Kristiani dapat memperoleh indulgensi penuh bagi orang yang sudah meninggal dengan cara mengunjungi makam dan/atau mendoakan arwah orang yang meninggal dimana yang menjalankannya setiap hari dari tanggal 1-8 November akan memperoleh indulgensi penuh sedangkan yang menjalankan pada hari-hari lain akan memperoleh indulgensi sebagian.
Lalu sebenarnya apa itu Indulgensi? Indulgensi mempunyai arti harafiah kemurahan hati, kemudian pengampunan hukuman-hukuman sementara akibat dosa yang sudah diampuni tetapi indulgensi sendiri tidak menghapuskan dosa karena diandaikan sudah tidak ada dosa lagi.
Gereja selalu berdoa untuk semua anggotanya agar mereka menjadi semakin murni dan kudus dan dalam hal indulgensi, Gereja menjadikan anggota tertentu menjadi sasaran khusus doanya. Doa Gereja ini akan dikabulkan oleh Allah bila sesuai dengan kehendak Allah, yang didoakan mau dan dapat menerima anugerah itu. Orang itu haruslah berada dalam keadaan rahmat dan berbuat baik atau dengan kata lain sesuai dengan apa yang diwajibkan menurut indulgensi tertentu, misalnya berdoa, bertobat, berziarah dan beramal serta bersedia semakin dibersihkan akibat dosanya yang masih melekat pada dirinya (walaupun dosanya sudah diampuni).
Indulgensi ini dapat diperoleh untuk diri sendiri maupun untuk arwah-arwah di api penyucian. Seluruh bidang indulgensi diatur kembali oleh KHK Kan. 992-997 dan oleh Enchiridion Indulgentiorum 91968) serta Ensiklik Aperite Portas Redemptori (1983).
Salah satu alasan perpecahan Gereja pada abad ke -16 (reformasi) adalah adanya propaganda indulgensi yang terlalu materialistis (berbuat baik, khususnya memberi derma untuk proyek gerejani atau amal tanpa memperbaharui sikap).
Tuesday, July 20, 2021
Laporan Utama: Sekolah Katolik
Pengantar:
Bila kalender menunjuk pada bulan Juli maka dunia persekolahan, Katolik khususnya, akan menjadi buah bibir para bapak dan ibu rumah tangga yang mempunyai putra-putri usia sekolah. Redaksi juga menaruh minat yang sama, maka jadilah laporan utama kali ini.
Laporan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu beberapa hal dari Ajaran dan Pedoman Gereja tentang Pendidikan Katolik, sebuah refleksi serta hasil wawancara tertulis dengan Yayasan Fatima (dari empat yayasan yang dihubungi, satu yayasan menyatakan tidak bersedia sekarang karena sedang sibuk, satu yayasan ketuanya sedang tidak ada di tempat, satu yayasan memberi rekomendasi untuk meghubungi salah seorang kepala sekolahnya karenn sang ketua sedang tidak ada di tempat tetapi ternyata beliau juga tidak bersedia karena sedang sibuk dan hanya satu yayasan yang bersedia diwawancara).
Untuk menyiapkan laporan utama kali ini, yang hanya diberi waktu empat hari untuk memenuhi deadline, selain digunakan sumber-sumber tertulis juga digunakan hasil perbincangan dengan beberapa orang yayasan-baik yag masih aktif maupun yang sudah mantan-sebagai bahan refleksi.
Akhirnya, semoga laporan utama ini tidak hanya sekedar sebuah tulisan tetapi benar-benar mengundang sebuah refleksi yang pada akhirnya membuahkan karya nyata. (Redaksi).
Berbicara tentang sekolah Katolik tentunya tidak bisa dilepaskan dari tujuan pendirian sekolah Katolik itu sendiri, yaitu sebagai sarana istimewa untuk memajukan pembentukan manusia seutuhnya mengingat sekolah adalah pusat pengembangan dan penyampaian konsepsi tertentu mengenai dunia, manusia dan sejarah.
Ciri Khas Sekolah Katolik
Kristus adalah dasar dari seluruh usaha pendidikan dalam sekolah Katolik. Bahwa semua warga komunitas sekolah menurut cara mereka masing-masing ambil bagian dalam visi Kristiani tersebut, fakta inilah yang menjadikan sekolah Katolik, dengan demikian prinsio-prinsip Injil menjadi norma pendidikan karena bagi sekolah prinsip-prinsip itu lantas menjadi motivasi dari dalam dan tujuan akhir.
Sekolah Katolik dengan demikian berkewajiban untuk membangun manusia seutuhnya karena di dalam Kristus, Manusia Sempurna, semua nilai manusia dipenuhi dan disatukan. Disinilah letak ciri khas Katolik dari sekolah.
Pengajaran Agama
Pengajaran Agama menjadi tugas khusus sekolah, yaitu mewariskan kebudayaan secara kritis dan sistemastis dengan cahaya iman dan menampilkan kekuatan keutamaan Kristiani melalui integrasi kebudayaan dengan iman dan integrasi iman dengan kehidupan. Akibatnya sekolah Katolik menyadari pentingnya pengajaran Injil seperti yang disampaikan oleh Gereja Katolik.
Tanpa hubungan secara tetap dengan Injil dan tanpa pertemuan yang sering dengan Kristus, sekolah Katolik kehilangan tujuannya.
Pendidikan tidak diberikan guna memperoleh kekuasaan tetapi sebagai bantuan untuk memahami lebih lengkap mengenai manusia, peristiwa-peristiwa dan benda-benda serta mempersatukan dengan semua itu. Pengetahuan tidak boleh dipandang sebagai sarana untuk memperoleh kekayaan dan sukses materiil tetapi sebagai panggilan untuk melayani dan bertanggungjawab terhadap orang lain.
Sisi Lain Proses Pendidikan dalam Sekolah Katolik
Terlepas apakah komunitas Katolik membentuk iman kaum mudanya melalui sekolah Katolik atau tidak, sekolah Katolik itu sendiri pada dasarnya tidak memecah belah atau angkuh. Ia membuka diri bagi pihak lain dan menghargai cara berpikir dan cara hidup mereka. Ia tidak memperuncing perbedaan-perbedaan, tetapi justru membantu kerjasama dan kontak dengan lainnya.
Di beberapa negara, karena peraturan perundangan-undangan dan kondisi ekonomi setempat, sekolah Katolik mengambil resiko memberikan kesaksian balasan dengan menerima sejumlah besar anak-anak dari keluarga-keluarga kaya karena mereka perlu berswasembada dalam keuangan. Keadaan ini sangat menjadi perhatian mereka yang bertanggungjawab atas pendiidkan Katolik karena Gereja memberikan pelayanan pendidikannya pertama-tama dan terutama kepada orang miskin atau mereka yang kehilangan bantuan dan kehangatan keluarga atau mereka yang kehilangan iman. Bila sekolah Katolik mencurahkan perhatiannya secara khusus dan menonjol kepada mereka yang kaya, ia akan membantu mereka mempertahankan kedudukan istimewa mereka dan dengan begitu akan terus menyokong masyarakat yang tidak adil.
Sekolah Katolik sebagai Pelayanan kepada Gereja dan Masyarakat
Komunitas sekolah Katolik merupakan sumber pelayanan yang tidak dapat digantikan, bukan saja bagi para murid dan para warga lainnya melainkan juga bagi masyarakat. Melalui kehadirannya, sekolah Katolik memberitahukan kekuatan iman yang memperkaya sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan mahabesar yang menyusahkan umat manusia. Terutama ia dipanggil untuk memberikan pelayanan dengan kerendahan hati dan cinta kasih kepada Gereja dengan menjamin bahwa kehadiran Gereja dalam bidang pengajaran adalah bermanfaat bagi keluarga umat manusia.
Dengan cara itu, sekolah Katolik menjalankan kerasulan sejati. Maka berkarya dalam kerasulan ini berarti menjalankan suatu karya yang unik dan tak ternilai bagi Gereja.
Kesulitan-kesulitan Sekolah Katolik
Sekarang, seperti dahulu, beberapa lembaga pengajaran yang memakai nama Katolik tidak nampak menjalankan sepenuhnya prinsip-prinsip pendidikan yang seharusnya menjadi ciri khas lembaga-lembaga itu. Dengan demikian, lembaga-lembaga itu tidak melaksanaka tugas-tugas yang diharapkan dari mereka oleh Gereja dan masyarakat, yang berhak penuh atas harapan itu. Di sini diketengahkan beberapa butir faktor dengan harapan untuk merangsang beberapa pemikiran sebagai dorongan ke arah pembaharuan yang berani:
1. Identitas Sekolah yang Sebenarnya
Seringkali kekurangan yang kiranya paling dasar pada orang-orang Katolik yang berkarya di sekolah adalah pengertian yang jelas tentang identitas sekolah Katolik dan keberanian untuk mengikuti semua konsekuensi dari kekhasan tersebut. Harus diakui bahwa melebihi sebelumnya, tugas sekolah Katolik sangat jauh lebih sulit, lebih rumit karena inilah saatnya dimana ajaran Kristiani menuntut diberi pakaian baru, dimana segala cara perubahan dimasukkan ke dalam Gereka dan kehidupan duniawi, dan terutama dimana mentalitas yang bercabang berkuasa dan Injil Kristiani makin bertambah didesak ke jalur samping.
2. Kritik Diri secara Terus-menerus dan Kerjasama
Karena itu, loyalitas kepada cita-cita pendidikan sekolah Katolik menuntut kritik terhadap diri sendiri dan kembali ke prinsip-prinsip dasar, ke motif yang mengilhami keterlibatan Gereja dalam pendidikan. Hal tersebut tidak memberikan arah yang dapat mulai memecahkan masalah-masalah itu. Harus diperhitungkan pandangan-pandangan baru dalam pedagogi dan kerjasama dengan pihak-pihak lain, tanpa memandang ikatan agama, yang dengan jujur bekerja bagi perkembangan sejati umat manusia.
3. Kesuliatn Keuangan
Kesulitan yang menghalang-halangi sekolah Katolik memperluas pelayanan kepada semua kelas sos-ek serta memaksa mereka memberikan kesan palsu seakan-akan hanya menyelenggarakan sekolah bagi orang kaya.
Jaminan atas Ciri Khas Katolik dari Sekolah
Kerjasama kerasulan dari pihak dua kelompok, baik klerus maupun biarawan-biarawati dan dari pihak awam adalah kerangka yang menjamin ciri khas Katolik dari sekolah. Kendati pengawasan terhadap kemurnian pengajaran agama dan terhadap ketaatan dalam melaksanakan moral Kristiani di sekolah-sekolah Katolik adalah wewenang Uskup, namun menjamin pemeliharaan lingkungan pendidikan yang khas Kristiani adalah praktek adalah tugas seluruh komunitas pendidikan, terutama bagi orang tua Kristiani yang mempercayakan anak-anak mereka kepada sekolah dan guru.
Bila timbul kesulitan-kesulitan dan pertentangan-pertentangan mengenai ciri khas yang otentik dari sekolah Katolik, pimpinan hirarki dapat dan harus campur tangan.
Keterbukaan terhadap orang-orang non Kristiani
Dengan kepastian bahwa Roh berkarya dalam setiap pribadi, sekolah Katolik menawarkan dirinya berikut segala tujuan dan sarananya yang khas kepada semua orang, termasuk yang non Kristiani, dengan memberitahukan, menjaga dan meningkatkan mutu kerohanian dan moral, nilai-nilai sos-bud, yang memberikan ciri kepada pelbagai peradaban. Satu-satunya persyaratan yang akan dibuat karena merupakan hanya-untuk kelangsungan keberadaanya adalah tetap setia tujuan kepada pendidikan sekolah Katolik.
Sekolah dan Pewartaan Injil
Kiranya bermanfaat mengingat kembali apa yang dikatakan Magisterium Bersama dan bekerjasama dengan keluarga, sekolah menyediakan kemungkinan-kemungkinan untuk berkatakese, yang tidak boleh dilalaikan....Tentu saja, hal ini khusus menunjuk sekolah Katolik; tidaklah layak lagi mendapatkan sebutan Katolik, tidak peduli betapa hebat nama baiknya untuk pengajaran di bidang-bidang lain, jika hanya ada alasan-alasan untuk menyesali kelalaian atau penyimpangan dalam pendidikan agama yang tepat disebut demikian. Tidaklah benar bahwa pendidikan seperti itu senantiasa secara tersirat atau tidak langsung. Ciri khas sekolah Katolik dan alasan yang mendasari keberadaanya, alasan mengapa para orang tua Katolik lebih suka sekolah Katolik, justru adalah mutu pengajaran agama yang dipadukan ke dalam seluruh pendidikan para siswa.
Ada suatu hubungan erat sekaligus perbedaan yang jelas antara pengajaran agama dan katekese atau penyampaian warta Injili. Hubugan erat itu memungkinkan sekolah tetap sekolah namun memadukan kebudayaan dengan warta Kristiani. Perbedaannya, katekese mengandaikan isi pendengar menerima warta Kristiani sebagai kenyataan yang menyelamatkan apalagi katekese dilaksanakan dalam suatu komunitas yang menghayati imanya dalam ukuran ruang dan waktu yang tidak tersedia bagi sekolah: sepanjang hidup. (ab, dari Ajaran dan Pedoman Gereja tentang Pendidikan Katolik)
_____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Suara dari Yayasan Fatima
Yayasan Fatima adalah sebuah yayasan yang dikelola oleh suster-suster Gembala Baik dan hanya ada di Kesukupan Bogor. Tujuan utama pendirian yayasan ini di tahun 1958 adalah agar dapat berkarya sesuai kharisma RGS, yaitu dengan melalui bidang pendidikan, pengajaran dan amal. Semula yayasan ini mengelola TK, SD, SMP di Bondongan tetapi kemudian hanya SMKK Baranangsiang yang dikelola karena keterbatasan jumlah anggota tarekat sehingga TK, SD, SMP tersebut kemudian diserahkan kepada tarekat SFS. Orientasi khusus yayasan ini adalah tertuju kepada para pemudi.
Berikut ini adalah hasil wawancara tertulis A.B. Lindawati dengan Suster Bernadette, RGS selaku ketua Yayasan Fatima.
T: Muncul keluhan bahwa sekolah Katolik mahal sehingga tidak terjangkau oleh keluarga yang tidak mampu sehingga mereka terpaksa harus menyerahkan pendidikan anak-anaknya di sekolah non-Katolik. Bagaimana tanggapan yayasan terhadap pernyataan ini? Mengapa?
J: Tanggapan kami terhadap “sekolah Katolik mahal”, kami tidak bisa meng-amin-i, harus ditinjau dari mana seginya sehingga dapat mengatakan hal itu. Pemecahan masalah “terpaksa harus menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke sekolah non Katolik” inipun belum tentu dapat dibenarkan.
Menurut pengamatan dan pengalaman kami, yayasan yang kami kelola belum terdengar keluhan. Kami tuangkan perwujuadn kharisma kami melalui pelayanan dalam pendidikan, pengajaran dan amal khususnya para pemudi lebih-lebih yang sangat membutuhkan pertolongan.
T: Apa yang telah dilakukan yayasan menanggapi semangat option for the poor? Mengapa?
J: Yayasan kami tidak lagi menanggapi option for the poor tetapi sudah action for the poor. Bagi para pemudi yang ada minat belajar dan mampu belajar, yang berasal dari keluarga kurang mampu, kami tolong untuk diberi pendidikan dan keterampilan demi masa depan dan ada cukup banyak dari keluarga yang seperti ini bahkan juga dari luar bogor, jadi harus masuk asrama.
Untuk mendapatkan dana bagi mereka, yayasan juga mengelola kegiatan produktif yaitu catering, menerima jahitan. Kami mengharapkan bantuan dari para dermawan Bogor tetapi hal ini sangat seret.
Bagi para pemudi yang berminat belajar namun kemampuan belajar agak kurang-NEM rendah-kami bantu mereka dengan memberi kesempatan belajar dan keterampilan demi masa depan mereka. Ini membutuhkan kerja berat dan perjuangan dari kedua belah pihak: staf pengajar dan siswa sendiri. Ini dapat berhasil karena didasari semangat Gembala Baik.
T: Apakah ada harapan terhadap umat? Mengenai hal apa?
J: Harapan yang muncul terhadap umat: agar makin terjalin keakraban, kerjasama, keterbukaan, kerendahan hati dan kejujuran. Dewasa dalam moral dan spiritual, mampu bersaksi akan Kristus dalam hidupnya di masyarakat, mulai dulu dari keluarganya sendiri.
Wajah Sekolah Katolik Kita (Di Keuskupan Bogor): Sebuah Refleksi
Dalam tulisan ini saya hanya akan menampilkan apa yang pernah saya dengar, baca, diskusikan dengan orang lain, entah itu umat, imam, suster maupun bruder di Bogor. Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengkambinghitamkan pihak tertentu melainkan mengajak semua pihak-entah itu klerus, biarawan-biarawati atau umat-untuk berani meihat kembali wajah sekolah Katolik kita, meskipun hanya /baru sebagian kecil, sehingga tujuan sekolah Katolik kita dapat tercapai tanpa harus mengorbankan identitas/ciri khasnya.
Berbulan yang lalu, dalam sebuah angkotan kota saya sempat mendengar seorang ibu, sebut saja ibu X, berbincang dengan ibu lain yang duduk di sebelahnya. Ibu X ini mengatakan untuk masuk ke sebuah sekolah Katolik, saya lupa beliau menyebut nama sekolahnya atau tidak, surat keterangan dari Pastor Paroki yang menerangkan bahwa anaknya berasal dari keluarga yang kurang mampu tidak bisa digunakan untuk meminta keringanan uang masuk. Seya belum pernah melihat sendiri bagaimana sih pihak yayasan sekolah Katolik melakukan wawancra dengan calon orang tua muridnya tetapi saya pernah membaca hasil pengamatan yang dilakukan oleh mingguan HIDUP di sekolah-sekolah Katolik yang terkenal dan mendengar pengalaman sebuah keluarga Katolik. Apa yang saya dengar di angkutan kota itu tentu saja membekas dalam pikiran saya, “kog begitu?” itu yang muncul. Karenanya dalam suatu kesempatan, saya ceritakan hal ini kepada seorang suster. Beliau mengatakan bahwa umat seharusnya berani menghadapi sendiri masalahnya dalam artian dia seharusnya berani mengungkapkannya sendiri kepada pihak yayasan dan tidak malah berlindung di balik surat keterangan tersebut. Kalau ini benar dilakukan, “apa iya yayasan akan mempercayainya?” Sayang saya lupa tidak mengejar suster itu dengan pertanyaan yang satu ini. Tapi mungkin pertanyaan ini bukan hanya ditujukan kepada suster tsb tetapi kepada semua pengelola yayasan sekolah Katolik.
Saat ini ada upaya-upaya agar di sekolah Katolik diberikan juga pelajaran agama lain bila jumlah siswa yang beragama lain tersebut dalam satu kelas melebihi jumlah tertentu. Dari hasil bincang-bincang saya, saya bisa menarik kesimpulan bahwa yayasan-yayasan tertentu (saya tidak berani mengatakan semua karena tidak semua yayasan sempat didengar komentarnya) tidak bisa menerima hal ini, karena pemberian pelajaran agama Katolik adalah konsekuensi dari ciri khas yang dimiliki oleh sebuah sekolah Katolik. Dengan demikian, bila pelajaran agama lain diberikan di sebuah sekolah Katolik sebagai upaya memenuhi hak asasi siswa yang beragama lain maka tindakan ini tidak bisa dibenarkan. Tetapi umat boleh kaget bila saya katakan di sini bahwa ada sekolah (sekolah) Katolik yang dikelola oleh pihak Keuskupan Bogor yang berada di daerah-daerah terpencil, yang tidak ada satupun guru maupun muridnya yang beragama Katolik sehingga pelajaran agama yang diberikan pun sesuai dengan agama yang dianut oleh para guru dan murid di sana. Saya tidak tahu, ini sebuah keprihatinan atau bukan (karena pasti ada berbagai sudut peninjauan) tapi yang jelas saya sangat kaget (karenanya saya tuliskan bahwa umat boleh kaget) ketika mendengar ini. Sampai saat ini saya masih beranggapan bahwa kalaupun tidak diberikan pelajaran agama Katolik karena murid dan gurunya tidak ada yang Katolik tetapi setidaknya diberikan pelajaran etika atau entahlah apa namanya yang jelas nilai-nilai Katolik bisa masuk tetapi bukan pelajaran agama lain yang justru dalam hal-hal tertentu tidak sejalan kalau tidak boleh dikatakan bertentangan dengan nilai-nilai Katolik.
Itulah dua contoh kasus yang bisa saya tuliskan. I have a Dream-nya Y.B. Mangunwijaya, Pr mungkin bisa banyak memberi arti bagi upaya melihat kembali kebijaksanaan di sekolah sekolah Katolik kita terutama oleh-oleh dari konferensi yang diikutinya di Mexico.
Saya jadi teringat apa yang dikatakan oleh Permadi, SH, Ketua Yayasan Parapsikologi Semesta, ketika ditanyakan kepadanya tentang pelayanan Rumah Sakit Katolik (HIDUP no. 6 tahun XLVII 7 Februari 1993), Beliau mengatakan bahwa beliau melihat mereka para suci yang dipakai namanya untuk Rumah Sakit itu pada menangis, karena tidak sesuai dengan cita-cita mereka dulu ketika masih hidup.
Semoga tulisan ini, bila dimuat, benar-benar bisa menjadi bahan refleksi yang menggugah kita semua. (A.B. Lindawati).
P.S. Dimuat di Media Komunikasi Antar Paroki Keuskupan Bogor "Mekar" Tahun VI No. 12 Jul 93
Monday, July 19, 2021
Laporan Utama: Gereja Katolik dan Negara RI
Pengantar:
Bulan ini kita rayakan ulang tahun kemerdekaan negara kita ke-48, untuk itulah Redaksi menurunkan Laporan Utama kali ini, yang berbicara seputar hubungan Gereja dengan Negara.
Sudah sejak beberapa abad yang lalu para uskup dan teolog memikirkan dan merumuskan hubungan antara Gereja Katolik dan Negara, maka tidak mengherankan bahwa ajaran ini mempunyai sejarah perkembangan sendiri. Perkembangan ajaran ini akhir-akhir ini lebih mendalam lagi. Bagaimana umat sendiri mensikapinya? Kita akan mencoba melihatnya juga dalam Laporan Utama kali ini.
Selamat membaca dan Dirgahayu Indonesiaku (Redaksi).
Gereja Katolik dan Negara RI
Dengan kelahiran Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, maka lahirlah masa penuh harapan serta tanggung jawab bagi umat Katolik Indonesia. Partai Katolik lahir kembali di tahun 1945 dan mengambil bagian dalam perjuangan demi kemerdekaan.
Proses pengintegrasian umat Katolik dalam perjuangan nasional dipimpin oleh Mgr. A. Soegiyapranata, SJ dan I.J. Kasimo. Dalam perjuangan itu, pimpinan umat (hirarki) maupun pimpinan politik bertindak positif tapi kritis. Kepercayaan rakyat pada dedikasi Umat Katolik terbukti pada Pemilu 1955 dengan diperolehnya suara dua kali jumlah umat sendiri. Pada tahun itu juga para uskup dalam suaru pertemuan di Surabaya memperingatkan bahaya Komunisme sebagai bentuk kolonialisme baru dan mendukung Pancasila sebagai pegangan kuat untuk kehidupan bermasyarakat. Mereka menyertakan pula perlunya aksi-aksi sosial yang terorganisir secara besar-besaran.
Waktu epilog G30S banyak tokoh Katolik secara aktif membantu menyisihkan rezim lama. Dengan tegas golongan dan organisasi Katolik mendukung serta membela Pancasila yang murni.
Rasa lega atas berhasil lolos dari marabahaya Komunisme, membuat orang kurang waspada dan kurang berpandangan tajam terhadap pelanggaran sila Keadilan Sosial dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang sekaligus merupakan dua tuntutan pokok Konsili Vatikan II.
Dalam musyawarah Antar Umat Beragama tahun 1967, wakil-wakil umat Katolik bersama wakil-wakil Gereja Kristen lainnya menerima alternatif ke-4 yang diusulkan oleh pemerintah tetapi ditolak oleh wakil Islam. Alternatif ke-4 itu berbunyi:
“Dengan tidak mengurangi hak-hak asasi manusia dalam kebebasannya memilih agamanya masing-masing, setiap golongan agama berlaku toleran satu terhadap lainnya, dan menghindarkan kegiatan-kegiatan penyebaran agama masing-masing yang dapat menimbulkan sengketa-sengketa antara sesama umat beragama.”
Di balik perbedaan pendapat antara golongan-golongan agama waktu itu terdapat juga kekuatiran pemerintah atas keamanan dan ketertiban masyarakat, jika agama-agama universal menjalankan tugas perutusannya dengan leluasa meskipun di lain pihak negara menjamin kebebasan agama secara penuh sesuai dengan pasal 29 UUD’45.
Pada tahun 1978/79 Gereja-gereja mengalami kesulitan sehubungan dengan surat Keputusan Menteri Agama tentang Pedoman Penyiaran Agama dan tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, yang akhirnya diredakan dengan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Surat Edaran Menteri Agama di tahun 1981 sekali lagi menimbulkan rasa cemas di kalangan umat Kristen karena mencampuri urusan peribadatan, yaitu penyelenggaraan hari-hari besar keagamaan, yang suka dihadiri orang-orang yang beragama berbeda-beda,
Beberapa tahun lamanya hubungan antara Departemen Agama dan pimpinan Gereja kurang lancar. Bagi Gereja Katolik, kebebasan lebih berharga daripada segala macam subsidi dan fasilitas. Sebab kebebasan adalah prasyarat perkembangan iman yang diyakini sedangkan bantuan-yang diterima dengan senang hati-dapat menciptakan ketergantungan dan halangan untuk bertindak lurus sesuai dengan tugas yang dibebankan oleh Tuhan kepada Gereja-Nya. Gereja Katolik memandang Depag sebagai instansi negara untuk melancarkan hubungan, yang secara prinsipal sejajar, antara semua agama dan Negara Pancasila serta untuk menyisihkan apa yang dapat menghalangi para warganegara dan umat beragama mengamalkan agama dan kepercayaan mereka sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Negara Pancasila dan Gereja Katolik
Dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD’45 ditentukan dasar negara, yaitu Pancasila dengan sila pertama KeTuhanan yang Maha Esa, dan sesuai dengan penjelasan resmi adalah KeTuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab bukan Ketuhanan menurut salah satu agama tertentu.
Pasal 29 UUD’45 menegaskan lagi corak negara RI itu serta menerangkan sikap negara terhadap agama serta pengakuan negara akan adanya pelbagai agama/kepercayaan. Di satu pihak jelas, bahwa RI bukan negara agama tetapi di lain pihak bukan juga negara sekular. Negara dan pemerintah tidak bersikap acuh tak acuh terhadap kehidupan beragama, negara merasa berkepentingan dan berkewajiban membantu usaha membina dan mengembangkan kehidupan beragama.
Di wilayah Negara RI tersebar umat Katolik Indonesia yang berhimpun dalam 34 keuskupan, yang semuanya berhimpun di Konferensi Wali Gereja Indonesia (dulu Majelis Agung Waligereja Indonesia) yang dipimpin oleh suatu Presidium. Keuskupan-keuskupan yang berbatasan satu sama lain tergabung dalam tubuh provinsi gerejani.
Dalam penggembaraan melewati sejarah umat manusia, gereja berpegang pada warta keselamatan yang telah diterima dari Yesus Kristus, supaya disampaikan kepada semua orang. Warta ini adalah Injil yang mengandung pandangan menyeluruh tentang manusia, tetapi tidak memiliki maksud dan tujuan politis apapun.
Gereja Katolik tidak terikat pada suatu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi semakin bentuk pemerintahan sesuai dengan kemanusiaan yang asli dan beradab, semakin Gereja dapat mendukung bentuk pemerintahan ini.
Umat Katolik Indonesia dengan senang hati mendukung Pancasila dan Negara Pancasila karena dianggap baik dan merangkum beberapa nilai manusiawi yang sekaligus Kristiani. Gereja mengharapkan agar pusaka tata-nilai warisan budaya suku-suku bangsa Indonesia, yang terangkum dalam Pancasila, disempurnakan dan dikembangkan sehingga meresapi semua segi kehidupan bangsa.
Hubungan Dialogal
Dasar hubungan kedua belah pihak adalah saling mengakui sesuai kedudukan masing-masing. Gereja Katolik mengakui otonomi setiap negara di bidang hidup bermasyarakatn demi kesehjahteraan rakyat seluruhnya. Otonomi itu berarti bahwa negara-seperti nilai-nilai dunia lainnya-mempunyai arti dan diselenggarakan serta berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri, yang tidak dapat disamakan dengan kaidah-kaidah keagamaan. Tetapi Gereja menyadari juga panggilannya dan ingin mempunyai keleluasan untuk melayani kebutuhan semua orang yang bersedia menerimanya. Pelayanan Gereja terutama pada hal-hal yang bersifat rohani tetapi juga yang bersifat jasmani demi perkembangan kepribadian manusia yang menyeluruh. Dalam hal ini Gereja tidak mengharapkan kebebasan melebihi atau kurang dari apa yang berdasarkan UUD’45 dan P4 dijamin oleh negara.
Instansi-instansi negara dan Gereja perlu berdialog untuk mengembangkan sikap saling mengerti dan menghormati serta kerukunan. Pembangunan manusia seutuhnyalah yang harus merupakan pusat perhatian negara maupun agama-agama (Gereja) namun hal ini dilakukan dalam perspektif dan dimensi yang berbeda.
Hubungan Gereja dan negara tidak melulu bahkan tidak terutama berlangsung pada tingkat institusional melainkan juga bekerjasama dengan semua golongan masyarakat dan dengan pemerintah, demi kesejahteraan seluruh bangsa.
Semua warganegara berhak ikut serta menentukan hidup kenegaraan. Dalam hal ini Gereja mendukung pemerataan partisipasi rakyat dalam mengusahakan maupun menikmati pembangunan. Maka, sebagai persekutuan iman dalam demokrasi seperti Indonesia ini, partner utama dalam dialog adalah rakyat yang bernegara. Maka, gereja memperjuangkan masyarakat partisipatoris, yaitu partisipasi aktif para warga masyarakat, secara perorangan maupun bersama-sama, dalam kehidupan dan pemerintahan negara mereka (GS 73), supaya mereka dapat bertanggungjawab terhadap politik negara. Suatu pluralisme dalam pandangan para warganegara mengenai urusan politis dianggap wajar apalagi bila seluruh masyarakat ikut serta dalam kepentingan negaranya. Bahkan, perbedaan pendapat mengenai hal-hal politik itu di dalam kalangan umat Katolik sendiri dipandang sebagai hal yang wajar pula.
Beberapa Bidang yang Pantas Diberi Perhatian Khusus
Dalam rangka hubungan antara Gereja Katolik dan Negara RI beberapa bidang yang pantas diberi perhatian khusus adalah:
1. Dalam usaha pembangunan, Gereja melihat peranannya yang khas. Oleh karena itu, pimpinan Gereja mengharapkan seluruh umat beriman melibatkan diri dan bersikap kritis-konstruktif, dengan jujur menilai tujuan dan sasaran pembangunan maupun upaya-upaya dan cara-cara melaksanakannya.
2. Gereja merasa wajib memperjuangkan dan menegakkan martabat manusia sebagai pribadi yang sangat bernilai dalam pandangan Allah. Oleh karena itu, Gereja merasa prihatin atas pelanggaran hak-hak dasar dan hukum atas kemiskinan dan keterbelakangan yang masih didertita oleh banyak warganegara. Bila demi pengembangan dan perlindungan kemanusiaan, Gereja berperan kritis, ia menghindari bertindak konfrontatif dan menggunakan jalur yang tersedia serta berusaha sendiri memberi kesaksian.
3. Pimpinan Gereja mengharap supaya para ahli dan tokoh masyarakat yang beragama Katolik, mau berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan keahlian dan panggilan masing-masing. Dalam hal ini supaya mereka dijiwai oleh semangai Injil dan memberi teladan kejujuran dan keadilan yang pantas diteladani generasi penerus.
4. Gereja merasa solider dengan kaum miskin. Ia membantu semua yang kurang mampu tanpa membedakan agama mereka, kalau mau memanfaatkan bantuan ini untuk melangkah keluar dari lingkaran setan yang mengurung mereka.
5. Gereja mendukung sepenuhnya usaha pemerintah untuk memupuk rasa toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
6. Gereja mendukung segala usaha untuk berswadaya, untuk merangsaang inisiatif dalam segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbudaya dan bernegara. Oleh karena itu, gereja memegang prinsip subsidiaritas, agar supaya apa saja yang dapat dilaksanakan oleh para warganegara sendiri atau oleh kelompok/satuan/organisasi pada tingkat yang lebih rendah, jangan diambilalih oleh pihak yang lebih tinggi dan kuat kedudukannya. Dengan demikian, bahaya etatisme dalam segala bidang dapat dicegah. (ab, dari Ensiklopedia Populer tentang Gereja Katolik di Indonesia)
_____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Asyik Khusyuk di dalam Oase Intern Gerejawi yang Teduh, Sejuk, Damai dan Menghibur:
Sebuah Refleksi
Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari bangsa manusia masa kini, teristimewa yang miskin atau yang dalam cara apapun sengsara, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus pula. (Gaudium et Spes 1)
Dalam terang sabda para Bapa Konsili itulah kita awali refleksi kita bulan ini karena sudah lebih dari 25 tahun, orang-orang Katolik lebih suka mengundurkan diri ke dalam oase aman dan nyaman batas-batas intern gerejani, dalam paroki atau lembaga rohani daripada aktif berpolitik (dalam arti aslinya: bekerja demi kepentingan umum masyarakat) di tengah medan khalayak ramai. Tentulah dimana-mana masih tetap ada kegiatan-kegiatan politik praktis dari warga umat Katolik. Demikian juga tidaklah kurang jumlah pribadi-pribadi yang dari keyakinan, pendidikan serta riwayat hidup mereka selalu merasa wajib untuk mengejawantahkan iman, harapan dan cinta kasih Kristiani serta ajaran sosial Gereja ke dalam masyarakat secara konsekuen namun tanpa ingin terperosok ke dalam praktek Kristenisasi dalam arti sempit dungu dan kurang menghormati pihak lain.
Namun toh terasa bahwa mereka lebih perkecualian daripada gejala umum sikap dan perilaku umat Katolik di Indonesia sekarang yang lebih suka retreat dan diam.
Ini dapat dipahami juga. Dunia luar semakin keras dan kejam, Pertarungan berebutan rejeki dalam iklim kompetisi dan survoval of the fittest terasa sangat berat, serba panas menyengat ibarat di padang pasir terbuka. Lainlah di dalam lingkungan kaum seagama. Seperti dalam oase rasanya. Namun begitu nikmatlah oase itu, sehingga banyak menjadi lupa bahwa tugas pokok mereka adalah sebagai kafilah yang melintasi padang pasir (lih. Lumen Gentium 9).
Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi dari satu kehidupan Kristiani. Iman, harapan dan cinta kasih Kristiani merupakan sesuatu yang selalu konkret dan kontekstual di tengah masyarakat. Apakah konteks Gereja kita di Indonesia? Konteksnya dalah:
1. Minoritas selaku Punakawan
Jika kita secara realis melihat kenyataan apa adanya (namun tetap dengan iman dan harapan Kristiani), maka umat Katolik di Indoensia tetaplah akan minoritas (ini tidak dari segi religiositas yang tetap misteri pribadi antara manusia satu persatu dengan Tuhan).
Kedudukan minoritas tidaklah sesuatu yang buruk tetapi justru mulia, membanggakan dan menggairahan asal saja jangan sombong. Kedudukan sebagai minoritas adalah sefungsi dengan di punakawan, yang adalah rakyat sederhana dalam wayang Jawa, yang menuntun para ksatria dengan Sabda dari Atas.
Dalam refleksi sebagai murid Kristus, mayoritas-minoritas yang sebetulnya tidak ada, paling tidak bukan soal yang sebenarnya. Yang ada hanyalah Kerajaan Allah dan gerombolan iblis. Dan Kerajaan Allah dalam terang KV II meliputi semua daerah luas mental spritual yang non Kristiani juga. Sebaliknya rongga-rongga kejahatan, sayang terdapat di dalam umat Kristen/Katolik juga.
2. Warisan Masa Lampau yang Kolonial
Realitas kejadian tragis kolonialisme imperialisme Barat telah menimbulkan luka-luka lama dan mendalam. Dan kalaupun Gereja selamat melewati masa pancaroba yang paling kritis dan menentukan tentunya berkat figur-figur Muslimin yang berpandangan luas dan berhati besar dan daya juang Kasimo-kasimo dan Soegijapranata-soegiyapranata kecil di tengah badai revolusi setia kepada Gereja dan Tanah Air. Tetapi apakah Kasimo-kasimo dan Soegijapranata-soegiyapranata masa kini juga masih banyak?
3. Bersama Agama-agama Besar lain
Persepsi yang salah terhadap Gereja dari umat di luar Gereja, sebagai akibat dari masa lampau Geraja yang kolonial, adalah Salib tetapi dapat menjadi sumber rahmat dan hikmat juga yang dapat mengubah kita semua menjadi abdi sejati yang melayani semua, termasuk masyarakat non Kristen.
Tuhan kita muliakan dalam kebenaran penuh jika kita berani merangkul kembali mereka yang selama ini selalu kita anggap lawan menjadi sahabat, saudara dan rekan seperjuangan demi Kerajaan Allah.
4. Mayoritas Asia yang Miskin
Hidup miskin pun dapat kita hayati sebagai suatu spiritualitas masa kini yang konkret konstekstual. Dimensi spiritualitas inilah yang mestinya menjadi motivasi dan sumber pendorong paling hakiki bagi sikap politisi yang Kristiani dema pembangunan masyarakat umum serta pendampingan kaum dina miskin (A.B. Lindawati dari Pengantar Y.B. Mangunwijaya. Pr untuk Keprihatinan Sosial Gereja)
_____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
“Keberhasilan ini adalah hasil perjuangan panjang yang cukup alot dan berat
serta menyakitkan….”
Untuk melengkapai Laput ini, A.B. Lindawati menghubungi Theresianna Panjaitan, anggota DPRD Kodya Bogor, yang mempunyai motto berbuat yang terbaik dalam semua aspek kehidupan. Istri dari Yosef Siregar dan ibu dari Vita Ria Angelina Siregar ini pernah menjadi sekretaris KUPERDA, tutor pemberantasan buta huruf di Desa Jampang, Parung, pengurus inti beberapa koperasi (sampai sekarang), penasehat dalam kelompok usaha bersama usaha kecil dan pedagang kaki lima dan menjadi anggota Pemuda Katolik.
Berikut hasil wawancara dengan ibu kelahiran Sitorang, 21 April 1965 yang punya hobi membaca dan bisa dipangggil Threes ini,
T: Bagaimana prosesnya sehingga Ibu bisa menjadi anggota DPRD dari F-PDI?
J: Dari kecil mencintai agama saya, agama Katolik, juga Parta Katolik. Partai Katolik meleburkan diri ke PDI dengan sendirinya saya simpatisan PDI lalu tahun 1986 masuk anggota PDI Kodya Bogor.
Tahun 1989 saya dipilih menjadi Fungsionaris DPC PDI sebagai wakil bendahara periode 1989-1994 atas dasar sering aktif membina pedagang kaki lima dan orang-orang yang tersisih dari karya baik yang saya terima bekerja di KUPERDA. Enam tahun saya mengabdikan diri dalam bidang sosial pendidikan non formal di KUPERDA sebagai sekretaris yang berkecimpung dalam pengembangan masyarakat atau menelorkan pembimbing-pembimbing masyarakat kecil di berbagai daerah di Indonesia. Saya betul-betul terbentuk menjadi orang yang tahan uji selama di KUPERDA dan siap di lapangan kehidupan walaupun ada berbagai tantangan.
Sebelum saya dicalonkan menjadi calon DRPD II harus mengikuti beberapa penataran, misalnya P-4, bimbingan politik, kaderisasi intern partai (lulus dan penjadi penatar), pemantapan persepsi sebagai fungsionaris Parpol dan Golkar.
Sebagai fungsionaris DPC PDI berhak dicalonkan menjadi calon DPRD lalu atas usul dari bawah, yaitu Komisaris Desa dan Komisaris Kecamatan PDI serta persetujuan dari atas, yaitu DPD PDI dan DPP PDI, saya masuk menjadi calon sementara DPRD II Kodya Bogor.
Kemudian mengikuti tes tertulis dan lisan serta penelitian khusus yang diselenggarakan oleh Sospol, hasilnya lulus dan berhak menjadi calon tetap DPRD II dengan nomer urut 4. Hasil jumlah suara PDI pada Pemilu 1992 di Kodya Bogor cukup 4 kursi maka saya dilantik menjadi Anggota DPRD II Kodya Bogor.
T: Apakah untuk itu diperlukan “perjuangan”? Mengapa?
J: Ooh, jelas betul-betul perlu perjuangan terutama dengan dukungan dari beberapa sahabat, pimpinan di tempat kerja, teman-teman sejawat, para kenalan baik serta seluruh pendukung saya, yang tidak bisa saya sebut nama satu per satu, lewat tuisan ini saya mengucapkan terima kasih yang amat mendalam semoga Tuhan membalas semua kebaikan Anda. Perlu saya tambahkan keberhasilan ini adalah hasil perjuangan panjang yang cukup alot dan berat serta menyakitkan, sebab tanpa perjuangan bagi saya segala sesuatu tidak ada keberhasilan.
T: Setelah masuk di lembaga legislatif ini, bagaimana kesan Ibu? Mengapa?
J: Senang, gembira, penuh semangat sebab dengan masuknya saya dalam lembaga legislatif, saya banyak tahu pengetahuan yang baru dan pengalaman yang tidak saya dapati di luar lembaga ini. Dengan demikian makin tahu mendalam untuk mendampingi masyarakat sosial dimana saya bisa berperanserta.
T: Menurut Ibu, bagaimana minat orang Katolik untuk berpolitik praktis?
J: Umat Katolik ada umumnya merasa diri cukup terjamin oleh hiraki sehingga umat Katolik yang bersangkutan kurang terangsang berpartisipasi dengan situasi politik.
T: Dengan menjadi satu-satunya orang Katolik di Dewan, adakah beban yang Ibu rasakan? Mengapa?
J: Ya memang ada, sebab saya merasa diri menyendiri sebab kurang didukung, kurang didampingi de sekelompok kecil seagama yang kurang berperanserta dalam usaha pembangunan masyarakat kita.
T: Bagaimana kesan Ibu mengenai mekanisme kerja di Dewan?
J: Cukup baik, tertarik dan menimbulkan semangat saya untuk berpartisipasi semampu saya.
T: Apakah Ibu mempunyai motivasi khusus ketika bersedia menjadi anggota Dewan? Mengapa?
J: Tentu punya motivasi sebab sejak masa muda saya aktif dalam usaha-usaha sosial gereja dan masyarakat.
T: Adakah harapan Ibu bagi umat/kaum muda/hirarki?
J: Memang ada sejauh kita dari umat Katolik mau aktif bersatu padu, misalnya dalam usaha mengentaskan kemiskinan.
-
(2Sam. 7:1-5,8b-12,14a,16; Mzm. 89:2-3,4-5,27,29: Rm. 16:25-27: Luk. 1:26-) Minggu ini kita memasuki Minggu Adven ke-empat, tiba saatn...
-
15 – 18 April 2004 lalu, saya mengikuti Retret Awal di Pertapaan Karmel Tumpang. Pertapaan ini merupakan tempat para suster yang tergabung d...
-
As part of Orientation program, I attended a directed retreat on Jul 25 – Aug 1, 2009 at Carmelite Retreat Center, Mahwah – New Jersey. Here...