Thursday, July 15, 2021

Dialog

 Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu

 

Pro dan kontra dalam hidup sehari-hari adalah hal yang biasa terjadi.  Demikian pula halnya dengan masalah integrasi Timor-Timur.  Adanya sebagian masyarakat yang belum dapat menerima integrasi tentunya harus diterima dengan lapang dada.

Kita juga seharusnya bisa menyadari bahwa hukum yang mengatur kebebasan berpendapat di Filipina tentu lain dengan Indonesia.  Apalagi konferensi ini diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah.  Dengan meminta pemerintah Filipina untuk menggagalkan rencana konferensi ini bukankah dapat juga diartikan sebagai intervensi pemerintah RI terhadap urusan dalam negeri Filipina terutama dalam hal kebebasan berpendapat, meskipun tentang Timor-Timur?

Bukankah lebih baik menjadikan Timor-Timur sebagai daerah yang terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat keadaan yang sebenarnya?  Penilaian yang datang dari pengamatan langsung tentunya lebih bisa diharapkan keobyektifannya.  Kalaupun masih ada kekurangan, terutama bila dibandingkan dengan propinsi lain sehingga muncul kritik tentunya dapat dijadikan sebagai masukan yang berharga bagi Penda setempat.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, orang Timor-Timur tentunya lebih efektif bila menjadi duta bangsa.  Kesempatan untuk ini tentunya harus diperluas.

Bisa juga dilakukan sebuah penelitian ilmiah bagaimana dampak integrasi bagi masyarakat Timor-Timur tidak hanya secara fisik tetapi juga dalam hal mental.  Dengan sebuah penelitian lmiah, maka jawaban yang muncul akan benar-benar obyektif.

Keterbukaan tentang masalah Timpr-Timur harus segera digulirkan dan tentunya tidak selayaknya kita, yang bukan orang Timor-Timur, menjadi lebih Timor Timur daripada orang Timor-Timur sendiri dengan memberikan penilaian yang tidak berdasar pada fakta.

Akhirnya, biarlah konferensui ini, dan juga konferensi atau apapun namanya di saat mendatang, berlalu.  Bukankah ada pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu dan sejarah akan membuktikan dampak integrasi bagi masyarakat Timor Timur.

 

Pengirim: A. B. Lindawati P. (Pengamat masalah sosial kemasyarakatan)

 

Penggusuran Makam W.R. Soepratman

 

Semasa hidupnya tentunya W.R. Soepratman tidak pernah mengharap akan mendapat gelar pahlawan Nasional meskipun telah melahirkan sebuah karya besar, Lagu Indonesia Raya.  Baginya semua itu tentunya adalah sebuah pengabdian terbaik bagi bangsanya, yang nota bene masih dalam cengkeraman penjajah.  Dan kalaupun kemudian pemerintah RI menganugerahkan gelar ini baginya, tentunya beliau sudah tidak bisa menikmatinya secara fisik.  Semahal atau semegah apapun bentuk penghargaan yang diberikan.

Pemindahan atau penggusuran makam W.R. Soepratman tentunya tidak akan mengurangi jasa yang telah diberikannya kepada bangsa ini.  Asalkan dilakukan demi kepentingan umum, tentu juga tidak akan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang tidak menghargai jasa para pahlawannya.  Sebagai seorang yang telah meninggalkan dunia yang fana ini, tentunya beliau lebih berbahagia di alam sana bila perjuangannya-juga perjuangan para pahlawan yang lain-diteruskan dengan cara mengisi kemerdekaan yang telah diperoleh demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ketika penggusuran terjadi dimana-mana demi sebuah pembangunan meskipun merupakan harta satu-satunya, tentunya penggusuran makam W.R. Soepratman masih relevan dan dimungkinkan sejauh benar-benar mendatangkan kemakmuran bagi orang banyak.

 

Pengirim: A.B. Lindawati P (Penulis lepas di Mojoagung)

 

Perjuangan Melawan Kesewenang-wenangan, Ketidakadilan dan Kemunafikan

 

Kebangkitan Nasional diperingati bertepatan dengan tanggal berdirinya Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang dibentuk oleh mahasiswa STOVIA, karena organisasi ini dipandang sebagai pelopor pergerakan Nasional.  Setiap tanggal 20 Mei diperingati munculnya pergerakan yang mempergunakan cara-cara dan sarana-sarana modern.

Meksi sempat mengalami penurunan sebagai akibat kesulitan keuangan, berdirinya organisasi-organisasi baru maupun pengunduran diri anggota golongan muda, toh peranan Boedi Oetomo pada masa itu tidak dapat dianggap kecil.

Delapan puluh enam tahun telah berlalu.  Indonesia telah merdeka dan bahkan kini sudah memasuki PJP II.  Berbagai kemajuan telah dicapai.  Gedung-gedung pencakar langit betebaran dimana-mana, transportasi darat, laut maupun udara semakin lancar, sarana telekomunikasi dapat ditemui sampai di desa-desa, pendapatan per kapita juga semakin meningkat.  

Itulah sebagiam dari kemajuan fisik yang dapat dicatat.  Sesuatu yang tidak dapat dipungkiri tentunya karena jelas-jelas kasad mata.  Tetapi di sisi lain, kejahatan juga semakin merajalela dan beragam jenisnya.  Kolusi antara pejabat dan pengusaha bukan menjadi rahasia lagi, pemotongan gaji oleh pihak-pihak yang tidak berhak sudah menjadi hal biasa, pelanggaran hak asasi manusia, korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan yang lain.

Di sisi inilah kebangkitan Nasional II seharusnya berpihak.  Kepada penegakan kebenaran dan keadilan. Tidak hanya mengejar pembangunan fisik semata tetapi juga berani bertindak tegas, adil, jujur dan pantang menyerah terhadap segala bentuk penyelewengan.

Kalau kebangkitan Nasional yang terjadi di masa penjajahan adalah sebuah pergerakan Nasional melawan penjajahan bangsa asing, maka Kebangkitan Nasional II ini tampaknya lebih sesuai sebagai perjuangan melawan kesewenang-wenangan, ketidakadilan dan kemunafikan.

Dengan demikian bangsa ini tidak hanya mengalami kemajuan dalam pembanguann fisik tetapi juga dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-niai kebenaran dan keadilan bukan hanya dalam slogan-slogan tetapi lebih dalam kehidupan nyata sehari-hari warganya.

 

Pengirim: A.B. Lindawati P (Penulis lepas di Mojoagung)

 

No comments:

Post a Comment