Kado Ulang Tahun untuk ISKA
Tulisan ini lahir setelah beberapa hari mengamati sejumlah komentar tentang rencana berdirinya ICKI (Ikatan Cendekiawan Kebangsaan Indonesia) yang dimuat di empat harian terbitan Jawa Timur. Sejak rencana pembentukan ICKI dilansir media massa-awalnya disampaikan dalam forum diskusi di Universitas Krisnadwipayana pada tanggal 29 April-berbagai komentar mengalir. Mulai dari politikus, menteri, pengamat politik sampai Kassospol ABRI memberikan komentar, baik yang mendukung , mempertanyakan sampai menolaknya.
Yang menarik, kehadiran ICKI ini oleh banyak kalangan banyak dihubung-hubungkan dengan ICMi (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan PIKI (Persatuan Intelegia Kristen Indonesia) tetapi hanya satu dua orang yang menyebut-nyebut keberadaan ISKA (Ikatan Sarjaa Katolik Indonesia). Padahal kiprah ISKA sudah cukup lama, 36 tahun! Pertanda ISKA tidak terkenal di kalangan politikus, menteri, pengamat politik dan ABRI? Bisa jadi! Lalu bagaimana dengan di kalangan para sarjana Katolik sendiri. Hanya konsumsi yang tua-tua? BIsa jadi!
Tulisan ini dimaksudkan sebagai suatu sumbang saran bagi ISKA, yang kebetulan akan berulang tahun ke-36 pada tanggal 20 Mei nanti, karena saya juga ingin melihat kiprah ISKA di tengah-tengah organisasi cendekiawan yang lain.
ISKA yang saya kenal
Ketika masih mahasisawa, saya tahu bahwa di kota tempat saya menuntut ilmu ada cabang ISKA ketika ada pengumuman perekrutan anggota, setelah cukup lama tertidur. Ini pun saya tahu karena saya terlibat dalam kegiatan di paroki. Kegiatan yang kemudian menonjol adalah mengadakan latihan bela diri, yang tampaknay juga mengundang minat kalangan non Katolik.
Seingat saya, ISKA tidak pernah “mendekati” mahasiswa yang nota bene adalah calon-calon anggotanya. Demikian juga ketika gelar mahasiswa sudah ditanggalkan.
ISKA dan Sarjana Baru
Tiap tahun ribuan sarjana Katolik dicetak oleh dunia perguruan tinggi. Tentunya ini akan menjadi ladang garapan yang tidak ada habis-habisnya bagi ISKA.
Ketika pertama kali memasuki dunia perguruan tinggi, tangan seorang pastor mahasiswa menyambut dengan ramah. Mendampingi selama masih menjadi mahasiswa (tetapi ada juga yang mengantar sampai jenjang perkawianan dan punya momongan). Alangkah menyejukkan hati ketika melangkahkan kaki meninggalkan dunia perguruan tinggi, tangan seorang ISKA menyambut dengan ramah. Bukan sebagai tempat perlindungan seperti layaknya seorang anak kecil butuh dekapan ibunya, tetapi lebih sebagai seorang teman seperjalanan yang telah lebih dahulu mengenyam asam garam kehidupan. Tidak terbatas hanya kepada anggota tetapi kepada siapa saja yang ingin meningkatkan iman dan ilmunya.
Persaingan dan kerasnya hidup selepas perguruan tinggi tidak jarang melahirkan kasus korupsi atau kolusi antar pengusaha dan pejabat dan ini tentunya juga mungkin terjadi di kalangan sarjana Katolik.
Memang sejak semula harus tetap disadari bahwa tidak semua sarjana Katolik akan tertarik untuk menjadi anggota ISKA apalagi organisasi kemahasiswaan juga mengenal ikatan alumni, seperti halnya tidak semua mahasiswa tertarik untuk terlibat dalam Keluarga Mahasiswa Katolik ataupun PMKRI. Di sinilah ujian bagi ISKA!
Penyambutan kepada para sarjana baru ini, tentunya tidak dengan sebuah Perayaan Ekaristi seperti umumnya dilakukan bila menyambut mahasiswa baru, dapat dilakukan sesuai dengan Anggaran Rumah Tangga ISKA bab II pada 2 ayat c tentang usaha ekstern organisasi, salah satunya mengadakan kegiatan-kegiatan pelayanan kepada masyarakat. Entah itu berupa seminar, pendalaman iman atau kursus singkat.
Tampaknya sepele. Tetapi kalau ini benar-benar dilakoni bukan tidak mungkin akan menguras perhatian. Bukan tidak mungkin ada yang menganggap karya ini seperti sebuah karya yang bukan level ISKA sebagai sebuah organisasi kemasyrakatan yang sudah menasional. Tetapi perlu juga disadari bahwa para sarjana baru ini merupakan penentu wajah bangsa ini bertahun yang akan datang, ketika arus globalisasi dan informasi sedemikian deras mengalir, ketika budaya konsumerisme dan hedonisme merajalela.
Bagaimana ISKA?
Pengirim: A. B. Lindawati P. (Pengamat masalah sosial kemasyarakatan dan gerejani, tinggal di Mojoagung)
Penampakan Bunda Maria
Peristiwa menangis darah tentunya masih segar di ingatan umat Katolik Keuskupan Surabaya pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Peristiwa ini kemudian diikuti dengan “penampakan-penampakan” kepada pemilik patung menangis darah ini.
Tulisan ini tidak hendak menyoroti masalah kebenaran “penampakan” (dan karenanya ditulis dalam tanda petik) ini, tetapi lebih pada sikap yang sebaiknya diambil.
Diakui atau tidak, peristiwa ini telah memunculkan kelompok-kelompok di kalangan umat. Kelompok yang percaya terhadap peristiwa ini, yang biasanya menjadi penggerak atau bisa juga dengan selalu mengikuti kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan air mata darah ini. Kelompok yang tidak percaya dan kelompok yang tidak peduli.
Hirarki sendiri-dalam hal ini pihak Keuskupan Surabaya-lebih memilih untuk membiarkan dulu umat beribadat dengan patung air mata darah ini (meskipun tidak semua paroki menerapkan kebijakan ini). Keputusan resmi mengenai kebenaran peristiwa ini masih menunggu hasi penelitian tim yang dibentuk oleh Mgr. A.J. Diyokarjono, Pr (HIDUP, 10 Oktober 1993).
Sikap ini tentunya dapat dipandang sebagai kehati-hatian pihak hirarki, yang ternyata selalu sama bila dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa “penampakan” di tempat lain.
Kehati-hatian ini tentunya harus dibarengi dengan kearifan. Artinya selama belum ada pernyatan resmi, tetap bersikap membiarkan ibadat privat ini. Bila memang di kemudian hari muncul gejala membahayakan iman, maka hirarki juga harus berani bersikap tegas untuk melarang. Dan tentu saja terbuka, sehingga semua umat mengetahuinya.
Gejala membahayakan iman bisa diamati dari devosi yang tidak pada tempatnya, dimana devosi yang benar dan otentik adalah yang berpusat kepada Allah Tritunggal dan menjadi sarana pewartaan karya penyelamatan Allah kepada semua orang.
Tumbuhnya devosi yang benar dan otentik inilah yang tentunya kita harapkan bersama dan ini tentunya membutuhkan waktu. Majalah keuskupan SUKA tentunya juga bisa mengambil peranan di sini.
Akhirnya, kalau Yeus sendiri mau meninggalkan ke-99 dombanya untuk mencari satu ekor yang hilang, maka kelompok umat yang percaya terhadap peristiwa ini tentunya harus tetap dirangkul dan bukannya malah disingkirkan (karena tampaknya Gereja lebih cenderung untuk tidak mempercayainya).
Pengirim: A.B. Lindawati P. (Pemerhati masalah gerejani di Mojoagung)
No comments:
Post a Comment