Pengantar:
Bulan ini kita rayakan ulang tahun kemerdekaan negara kita ke-48, untuk itulah Redaksi menurunkan Laporan Utama kali ini, yang berbicara seputar hubungan Gereja dengan Negara.
Sudah sejak beberapa abad yang lalu para uskup dan teolog memikirkan dan merumuskan hubungan antara Gereja Katolik dan Negara, maka tidak mengherankan bahwa ajaran ini mempunyai sejarah perkembangan sendiri. Perkembangan ajaran ini akhir-akhir ini lebih mendalam lagi. Bagaimana umat sendiri mensikapinya? Kita akan mencoba melihatnya juga dalam Laporan Utama kali ini.
Selamat membaca dan Dirgahayu Indonesiaku (Redaksi).
Gereja Katolik dan Negara RI
Dengan kelahiran Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, maka lahirlah masa penuh harapan serta tanggung jawab bagi umat Katolik Indonesia. Partai Katolik lahir kembali di tahun 1945 dan mengambil bagian dalam perjuangan demi kemerdekaan.
Proses pengintegrasian umat Katolik dalam perjuangan nasional dipimpin oleh Mgr. A. Soegiyapranata, SJ dan I.J. Kasimo. Dalam perjuangan itu, pimpinan umat (hirarki) maupun pimpinan politik bertindak positif tapi kritis. Kepercayaan rakyat pada dedikasi Umat Katolik terbukti pada Pemilu 1955 dengan diperolehnya suara dua kali jumlah umat sendiri. Pada tahun itu juga para uskup dalam suaru pertemuan di Surabaya memperingatkan bahaya Komunisme sebagai bentuk kolonialisme baru dan mendukung Pancasila sebagai pegangan kuat untuk kehidupan bermasyarakat. Mereka menyertakan pula perlunya aksi-aksi sosial yang terorganisir secara besar-besaran.
Waktu epilog G30S banyak tokoh Katolik secara aktif membantu menyisihkan rezim lama. Dengan tegas golongan dan organisasi Katolik mendukung serta membela Pancasila yang murni.
Rasa lega atas berhasil lolos dari marabahaya Komunisme, membuat orang kurang waspada dan kurang berpandangan tajam terhadap pelanggaran sila Keadilan Sosial dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang sekaligus merupakan dua tuntutan pokok Konsili Vatikan II.
Dalam musyawarah Antar Umat Beragama tahun 1967, wakil-wakil umat Katolik bersama wakil-wakil Gereja Kristen lainnya menerima alternatif ke-4 yang diusulkan oleh pemerintah tetapi ditolak oleh wakil Islam. Alternatif ke-4 itu berbunyi:
“Dengan tidak mengurangi hak-hak asasi manusia dalam kebebasannya memilih agamanya masing-masing, setiap golongan agama berlaku toleran satu terhadap lainnya, dan menghindarkan kegiatan-kegiatan penyebaran agama masing-masing yang dapat menimbulkan sengketa-sengketa antara sesama umat beragama.”
Di balik perbedaan pendapat antara golongan-golongan agama waktu itu terdapat juga kekuatiran pemerintah atas keamanan dan ketertiban masyarakat, jika agama-agama universal menjalankan tugas perutusannya dengan leluasa meskipun di lain pihak negara menjamin kebebasan agama secara penuh sesuai dengan pasal 29 UUD’45.
Pada tahun 1978/79 Gereja-gereja mengalami kesulitan sehubungan dengan surat Keputusan Menteri Agama tentang Pedoman Penyiaran Agama dan tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, yang akhirnya diredakan dengan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Surat Edaran Menteri Agama di tahun 1981 sekali lagi menimbulkan rasa cemas di kalangan umat Kristen karena mencampuri urusan peribadatan, yaitu penyelenggaraan hari-hari besar keagamaan, yang suka dihadiri orang-orang yang beragama berbeda-beda,
Beberapa tahun lamanya hubungan antara Departemen Agama dan pimpinan Gereja kurang lancar. Bagi Gereja Katolik, kebebasan lebih berharga daripada segala macam subsidi dan fasilitas. Sebab kebebasan adalah prasyarat perkembangan iman yang diyakini sedangkan bantuan-yang diterima dengan senang hati-dapat menciptakan ketergantungan dan halangan untuk bertindak lurus sesuai dengan tugas yang dibebankan oleh Tuhan kepada Gereja-Nya. Gereja Katolik memandang Depag sebagai instansi negara untuk melancarkan hubungan, yang secara prinsipal sejajar, antara semua agama dan Negara Pancasila serta untuk menyisihkan apa yang dapat menghalangi para warganegara dan umat beragama mengamalkan agama dan kepercayaan mereka sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Negara Pancasila dan Gereja Katolik
Dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD’45 ditentukan dasar negara, yaitu Pancasila dengan sila pertama KeTuhanan yang Maha Esa, dan sesuai dengan penjelasan resmi adalah KeTuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab bukan Ketuhanan menurut salah satu agama tertentu.
Pasal 29 UUD’45 menegaskan lagi corak negara RI itu serta menerangkan sikap negara terhadap agama serta pengakuan negara akan adanya pelbagai agama/kepercayaan. Di satu pihak jelas, bahwa RI bukan negara agama tetapi di lain pihak bukan juga negara sekular. Negara dan pemerintah tidak bersikap acuh tak acuh terhadap kehidupan beragama, negara merasa berkepentingan dan berkewajiban membantu usaha membina dan mengembangkan kehidupan beragama.
Di wilayah Negara RI tersebar umat Katolik Indonesia yang berhimpun dalam 34 keuskupan, yang semuanya berhimpun di Konferensi Wali Gereja Indonesia (dulu Majelis Agung Waligereja Indonesia) yang dipimpin oleh suatu Presidium. Keuskupan-keuskupan yang berbatasan satu sama lain tergabung dalam tubuh provinsi gerejani.
Dalam penggembaraan melewati sejarah umat manusia, gereja berpegang pada warta keselamatan yang telah diterima dari Yesus Kristus, supaya disampaikan kepada semua orang. Warta ini adalah Injil yang mengandung pandangan menyeluruh tentang manusia, tetapi tidak memiliki maksud dan tujuan politis apapun.
Gereja Katolik tidak terikat pada suatu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi semakin bentuk pemerintahan sesuai dengan kemanusiaan yang asli dan beradab, semakin Gereja dapat mendukung bentuk pemerintahan ini.
Umat Katolik Indonesia dengan senang hati mendukung Pancasila dan Negara Pancasila karena dianggap baik dan merangkum beberapa nilai manusiawi yang sekaligus Kristiani. Gereja mengharapkan agar pusaka tata-nilai warisan budaya suku-suku bangsa Indonesia, yang terangkum dalam Pancasila, disempurnakan dan dikembangkan sehingga meresapi semua segi kehidupan bangsa.
Hubungan Dialogal
Dasar hubungan kedua belah pihak adalah saling mengakui sesuai kedudukan masing-masing. Gereja Katolik mengakui otonomi setiap negara di bidang hidup bermasyarakatn demi kesehjahteraan rakyat seluruhnya. Otonomi itu berarti bahwa negara-seperti nilai-nilai dunia lainnya-mempunyai arti dan diselenggarakan serta berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri, yang tidak dapat disamakan dengan kaidah-kaidah keagamaan. Tetapi Gereja menyadari juga panggilannya dan ingin mempunyai keleluasan untuk melayani kebutuhan semua orang yang bersedia menerimanya. Pelayanan Gereja terutama pada hal-hal yang bersifat rohani tetapi juga yang bersifat jasmani demi perkembangan kepribadian manusia yang menyeluruh. Dalam hal ini Gereja tidak mengharapkan kebebasan melebihi atau kurang dari apa yang berdasarkan UUD’45 dan P4 dijamin oleh negara.
Instansi-instansi negara dan Gereja perlu berdialog untuk mengembangkan sikap saling mengerti dan menghormati serta kerukunan. Pembangunan manusia seutuhnyalah yang harus merupakan pusat perhatian negara maupun agama-agama (Gereja) namun hal ini dilakukan dalam perspektif dan dimensi yang berbeda.
Hubungan Gereja dan negara tidak melulu bahkan tidak terutama berlangsung pada tingkat institusional melainkan juga bekerjasama dengan semua golongan masyarakat dan dengan pemerintah, demi kesejahteraan seluruh bangsa.
Semua warganegara berhak ikut serta menentukan hidup kenegaraan. Dalam hal ini Gereja mendukung pemerataan partisipasi rakyat dalam mengusahakan maupun menikmati pembangunan. Maka, sebagai persekutuan iman dalam demokrasi seperti Indonesia ini, partner utama dalam dialog adalah rakyat yang bernegara. Maka, gereja memperjuangkan masyarakat partisipatoris, yaitu partisipasi aktif para warga masyarakat, secara perorangan maupun bersama-sama, dalam kehidupan dan pemerintahan negara mereka (GS 73), supaya mereka dapat bertanggungjawab terhadap politik negara. Suatu pluralisme dalam pandangan para warganegara mengenai urusan politis dianggap wajar apalagi bila seluruh masyarakat ikut serta dalam kepentingan negaranya. Bahkan, perbedaan pendapat mengenai hal-hal politik itu di dalam kalangan umat Katolik sendiri dipandang sebagai hal yang wajar pula.
Beberapa Bidang yang Pantas Diberi Perhatian Khusus
Dalam rangka hubungan antara Gereja Katolik dan Negara RI beberapa bidang yang pantas diberi perhatian khusus adalah:
1. Dalam usaha pembangunan, Gereja melihat peranannya yang khas. Oleh karena itu, pimpinan Gereja mengharapkan seluruh umat beriman melibatkan diri dan bersikap kritis-konstruktif, dengan jujur menilai tujuan dan sasaran pembangunan maupun upaya-upaya dan cara-cara melaksanakannya.
2. Gereja merasa wajib memperjuangkan dan menegakkan martabat manusia sebagai pribadi yang sangat bernilai dalam pandangan Allah. Oleh karena itu, Gereja merasa prihatin atas pelanggaran hak-hak dasar dan hukum atas kemiskinan dan keterbelakangan yang masih didertita oleh banyak warganegara. Bila demi pengembangan dan perlindungan kemanusiaan, Gereja berperan kritis, ia menghindari bertindak konfrontatif dan menggunakan jalur yang tersedia serta berusaha sendiri memberi kesaksian.
3. Pimpinan Gereja mengharap supaya para ahli dan tokoh masyarakat yang beragama Katolik, mau berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan keahlian dan panggilan masing-masing. Dalam hal ini supaya mereka dijiwai oleh semangai Injil dan memberi teladan kejujuran dan keadilan yang pantas diteladani generasi penerus.
4. Gereja merasa solider dengan kaum miskin. Ia membantu semua yang kurang mampu tanpa membedakan agama mereka, kalau mau memanfaatkan bantuan ini untuk melangkah keluar dari lingkaran setan yang mengurung mereka.
5. Gereja mendukung sepenuhnya usaha pemerintah untuk memupuk rasa toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
6. Gereja mendukung segala usaha untuk berswadaya, untuk merangsaang inisiatif dalam segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbudaya dan bernegara. Oleh karena itu, gereja memegang prinsip subsidiaritas, agar supaya apa saja yang dapat dilaksanakan oleh para warganegara sendiri atau oleh kelompok/satuan/organisasi pada tingkat yang lebih rendah, jangan diambilalih oleh pihak yang lebih tinggi dan kuat kedudukannya. Dengan demikian, bahaya etatisme dalam segala bidang dapat dicegah. (ab, dari Ensiklopedia Populer tentang Gereja Katolik di Indonesia)
_____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Asyik Khusyuk di dalam Oase Intern Gerejawi yang Teduh, Sejuk, Damai dan Menghibur:
Sebuah Refleksi
Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari bangsa manusia masa kini, teristimewa yang miskin atau yang dalam cara apapun sengsara, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus pula. (Gaudium et Spes 1)
Dalam terang sabda para Bapa Konsili itulah kita awali refleksi kita bulan ini karena sudah lebih dari 25 tahun, orang-orang Katolik lebih suka mengundurkan diri ke dalam oase aman dan nyaman batas-batas intern gerejani, dalam paroki atau lembaga rohani daripada aktif berpolitik (dalam arti aslinya: bekerja demi kepentingan umum masyarakat) di tengah medan khalayak ramai. Tentulah dimana-mana masih tetap ada kegiatan-kegiatan politik praktis dari warga umat Katolik. Demikian juga tidaklah kurang jumlah pribadi-pribadi yang dari keyakinan, pendidikan serta riwayat hidup mereka selalu merasa wajib untuk mengejawantahkan iman, harapan dan cinta kasih Kristiani serta ajaran sosial Gereja ke dalam masyarakat secara konsekuen namun tanpa ingin terperosok ke dalam praktek Kristenisasi dalam arti sempit dungu dan kurang menghormati pihak lain.
Namun toh terasa bahwa mereka lebih perkecualian daripada gejala umum sikap dan perilaku umat Katolik di Indonesia sekarang yang lebih suka retreat dan diam.
Ini dapat dipahami juga. Dunia luar semakin keras dan kejam, Pertarungan berebutan rejeki dalam iklim kompetisi dan survoval of the fittest terasa sangat berat, serba panas menyengat ibarat di padang pasir terbuka. Lainlah di dalam lingkungan kaum seagama. Seperti dalam oase rasanya. Namun begitu nikmatlah oase itu, sehingga banyak menjadi lupa bahwa tugas pokok mereka adalah sebagai kafilah yang melintasi padang pasir (lih. Lumen Gentium 9).
Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi dari satu kehidupan Kristiani. Iman, harapan dan cinta kasih Kristiani merupakan sesuatu yang selalu konkret dan kontekstual di tengah masyarakat. Apakah konteks Gereja kita di Indonesia? Konteksnya dalah:
1. Minoritas selaku Punakawan
Jika kita secara realis melihat kenyataan apa adanya (namun tetap dengan iman dan harapan Kristiani), maka umat Katolik di Indoensia tetaplah akan minoritas (ini tidak dari segi religiositas yang tetap misteri pribadi antara manusia satu persatu dengan Tuhan).
Kedudukan minoritas tidaklah sesuatu yang buruk tetapi justru mulia, membanggakan dan menggairahan asal saja jangan sombong. Kedudukan sebagai minoritas adalah sefungsi dengan di punakawan, yang adalah rakyat sederhana dalam wayang Jawa, yang menuntun para ksatria dengan Sabda dari Atas.
Dalam refleksi sebagai murid Kristus, mayoritas-minoritas yang sebetulnya tidak ada, paling tidak bukan soal yang sebenarnya. Yang ada hanyalah Kerajaan Allah dan gerombolan iblis. Dan Kerajaan Allah dalam terang KV II meliputi semua daerah luas mental spritual yang non Kristiani juga. Sebaliknya rongga-rongga kejahatan, sayang terdapat di dalam umat Kristen/Katolik juga.
2. Warisan Masa Lampau yang Kolonial
Realitas kejadian tragis kolonialisme imperialisme Barat telah menimbulkan luka-luka lama dan mendalam. Dan kalaupun Gereja selamat melewati masa pancaroba yang paling kritis dan menentukan tentunya berkat figur-figur Muslimin yang berpandangan luas dan berhati besar dan daya juang Kasimo-kasimo dan Soegijapranata-soegiyapranata kecil di tengah badai revolusi setia kepada Gereja dan Tanah Air. Tetapi apakah Kasimo-kasimo dan Soegijapranata-soegiyapranata masa kini juga masih banyak?
3. Bersama Agama-agama Besar lain
Persepsi yang salah terhadap Gereja dari umat di luar Gereja, sebagai akibat dari masa lampau Geraja yang kolonial, adalah Salib tetapi dapat menjadi sumber rahmat dan hikmat juga yang dapat mengubah kita semua menjadi abdi sejati yang melayani semua, termasuk masyarakat non Kristen.
Tuhan kita muliakan dalam kebenaran penuh jika kita berani merangkul kembali mereka yang selama ini selalu kita anggap lawan menjadi sahabat, saudara dan rekan seperjuangan demi Kerajaan Allah.
4. Mayoritas Asia yang Miskin
Hidup miskin pun dapat kita hayati sebagai suatu spiritualitas masa kini yang konkret konstekstual. Dimensi spiritualitas inilah yang mestinya menjadi motivasi dan sumber pendorong paling hakiki bagi sikap politisi yang Kristiani dema pembangunan masyarakat umum serta pendampingan kaum dina miskin (A.B. Lindawati dari Pengantar Y.B. Mangunwijaya. Pr untuk Keprihatinan Sosial Gereja)
_____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
“Keberhasilan ini adalah hasil perjuangan panjang yang cukup alot dan berat
serta menyakitkan….”
Untuk melengkapai Laput ini, A.B. Lindawati menghubungi Theresianna Panjaitan, anggota DPRD Kodya Bogor, yang mempunyai motto berbuat yang terbaik dalam semua aspek kehidupan. Istri dari Yosef Siregar dan ibu dari Vita Ria Angelina Siregar ini pernah menjadi sekretaris KUPERDA, tutor pemberantasan buta huruf di Desa Jampang, Parung, pengurus inti beberapa koperasi (sampai sekarang), penasehat dalam kelompok usaha bersama usaha kecil dan pedagang kaki lima dan menjadi anggota Pemuda Katolik.
Berikut hasil wawancara dengan ibu kelahiran Sitorang, 21 April 1965 yang punya hobi membaca dan bisa dipangggil Threes ini,
T: Bagaimana prosesnya sehingga Ibu bisa menjadi anggota DPRD dari F-PDI?
J: Dari kecil mencintai agama saya, agama Katolik, juga Parta Katolik. Partai Katolik meleburkan diri ke PDI dengan sendirinya saya simpatisan PDI lalu tahun 1986 masuk anggota PDI Kodya Bogor.
Tahun 1989 saya dipilih menjadi Fungsionaris DPC PDI sebagai wakil bendahara periode 1989-1994 atas dasar sering aktif membina pedagang kaki lima dan orang-orang yang tersisih dari karya baik yang saya terima bekerja di KUPERDA. Enam tahun saya mengabdikan diri dalam bidang sosial pendidikan non formal di KUPERDA sebagai sekretaris yang berkecimpung dalam pengembangan masyarakat atau menelorkan pembimbing-pembimbing masyarakat kecil di berbagai daerah di Indonesia. Saya betul-betul terbentuk menjadi orang yang tahan uji selama di KUPERDA dan siap di lapangan kehidupan walaupun ada berbagai tantangan.
Sebelum saya dicalonkan menjadi calon DRPD II harus mengikuti beberapa penataran, misalnya P-4, bimbingan politik, kaderisasi intern partai (lulus dan penjadi penatar), pemantapan persepsi sebagai fungsionaris Parpol dan Golkar.
Sebagai fungsionaris DPC PDI berhak dicalonkan menjadi calon DPRD lalu atas usul dari bawah, yaitu Komisaris Desa dan Komisaris Kecamatan PDI serta persetujuan dari atas, yaitu DPD PDI dan DPP PDI, saya masuk menjadi calon sementara DPRD II Kodya Bogor.
Kemudian mengikuti tes tertulis dan lisan serta penelitian khusus yang diselenggarakan oleh Sospol, hasilnya lulus dan berhak menjadi calon tetap DPRD II dengan nomer urut 4. Hasil jumlah suara PDI pada Pemilu 1992 di Kodya Bogor cukup 4 kursi maka saya dilantik menjadi Anggota DPRD II Kodya Bogor.
T: Apakah untuk itu diperlukan “perjuangan”? Mengapa?
J: Ooh, jelas betul-betul perlu perjuangan terutama dengan dukungan dari beberapa sahabat, pimpinan di tempat kerja, teman-teman sejawat, para kenalan baik serta seluruh pendukung saya, yang tidak bisa saya sebut nama satu per satu, lewat tuisan ini saya mengucapkan terima kasih yang amat mendalam semoga Tuhan membalas semua kebaikan Anda. Perlu saya tambahkan keberhasilan ini adalah hasil perjuangan panjang yang cukup alot dan berat serta menyakitkan, sebab tanpa perjuangan bagi saya segala sesuatu tidak ada keberhasilan.
T: Setelah masuk di lembaga legislatif ini, bagaimana kesan Ibu? Mengapa?
J: Senang, gembira, penuh semangat sebab dengan masuknya saya dalam lembaga legislatif, saya banyak tahu pengetahuan yang baru dan pengalaman yang tidak saya dapati di luar lembaga ini. Dengan demikian makin tahu mendalam untuk mendampingi masyarakat sosial dimana saya bisa berperanserta.
T: Menurut Ibu, bagaimana minat orang Katolik untuk berpolitik praktis?
J: Umat Katolik ada umumnya merasa diri cukup terjamin oleh hiraki sehingga umat Katolik yang bersangkutan kurang terangsang berpartisipasi dengan situasi politik.
T: Dengan menjadi satu-satunya orang Katolik di Dewan, adakah beban yang Ibu rasakan? Mengapa?
J: Ya memang ada, sebab saya merasa diri menyendiri sebab kurang didukung, kurang didampingi de sekelompok kecil seagama yang kurang berperanserta dalam usaha pembangunan masyarakat kita.
T: Bagaimana kesan Ibu mengenai mekanisme kerja di Dewan?
J: Cukup baik, tertarik dan menimbulkan semangat saya untuk berpartisipasi semampu saya.
T: Apakah Ibu mempunyai motivasi khusus ketika bersedia menjadi anggota Dewan? Mengapa?
J: Tentu punya motivasi sebab sejak masa muda saya aktif dalam usaha-usaha sosial gereja dan masyarakat.
T: Adakah harapan Ibu bagi umat/kaum muda/hirarki?
J: Memang ada sejauh kita dari umat Katolik mau aktif bersatu padu, misalnya dalam usaha mengentaskan kemiskinan.
No comments:
Post a Comment